Sabtu, 28 Maret 2009

Penerapan Teknologi Dalam Pengaturan Air Untuk Pertanian di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kekeringan mulai melanda sejumlah wilayah di Tanah Air. Ratusan ribu hektare tanaman pangan, terutama padi, di Pulau Jawa terancam. Luas lahan padi yang potensial gagal panen terus bertambah seiring dengan musim kemarau yang berubah pola.
Perubahan iklim, para ahli mengaitkannya dengan gejala pemanasan global menyebabkan musim hujan dan kemarau di Indonesia bergeser. Musim kemarau yang biasanya terjadi pada periode April sampai Oktober, tahun ini baru dimulai pada Juli. Demikian juga dengan musim hujan yang bergeser dari November sampai Maret ke Februari hingga Juni. Total luas tanaman padi yang kekeringan selama Januari-Juli 2007 mencapai 268.518 hektare.
Kawasan tropis diperkirakan akan menderita pukulan produksi pangan akibat besarnya variabilitas iklim menjelang 2030. Itu berarti kerawanan pangan akan sering terjadi. Kekhawatiran ini cukup beralasan. Karena meski bencana kekeringan sudah mengancam dan melanda sentra-sentra produksi beras di Jawa, pemerintah malah membantah terjadi bencana kekeringan nasional pada musim kemarau sekarang ini. Petani di daerah pantai utara (pantura) Jawa Barat dan Jawa Tengah padahal sudah berteriak sawah mereka kering. Pemerintah harus menanggapi masalah ini dengan serius karena menyangkut produksi beras nasional. Pemerintah harus cepat menangani bencana alam yang sudah di depan mata.
Berdasarkan hasil analisis data historis yang disampaikan Direktur PLA Deptan, kekeringan kali ini selain merupakan kejadian musiman biasa, juga akumulasi dan interaksi tiga faktor penyebab lainnya, yaitu degradasi lingkungan dan sumber daya air, tata kelola air yang memburuk, dan dampak perubahan iklim global. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah harus mengantisipasi dengan cepat dan tepat faktor ini.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan malakalah ini adalah agar mengetahui pentingnya ketersediaan air bagi pertanian. Selain itu untuk mengetahui dan mencari solusi dalam mengatasi permasalahan kekurangan air bagi pertanian lahan kering pada musim kemarau terutama daerah dengan curah hujan kecil dengan berbagai sistem irigasi. Dengan dilakukan tinjauan terhadap literatur diharapkan mampu mencarikan solusi dari permasalahan tersebut.

1.3. Identifikasi Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasikan masalah yang akan dibahas yaitu :
- Sumber air bagi sektor pertanian?
- Seberapa penting ketersediaan air bagi kehidupan khususnya sektor pertanian?
- Keadaan Indonesia saat ini, permasalahan daerah dengan curah hujan kecil, pertanian lahan kering di musim kemarau, dan dampak perubahan iklim (bergesernya waktu musim hujan dan kemarau) bagaimana solusinya?
- Beberapa sistem pengairan (irigasi), mampukah menjadi solusi permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini?















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian
Air demikian penting bagi kehidupan manusia, berbagai sektor dan kepentingan lainnya. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah air pengairan, yang sering bahkan menimbulkan berbagai masalah bagi berbagai kehidupan, jika tidak mampu melestarikannya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah Nomor: 1/PRT/M/2004, Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang berada di darat.
Irigasi adalah usaha penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak. Ada beberapa pengertian tentang irigasi diantaranya menurut Kartasapoetra : 94 bahwa irigasi adalah kegiatan penyediaan dan pengaturan air untuk memenuhi kepentingan pertanian dengan memanfaatkan air permukaan dan air tanah.
Menurut UU no.11 tahun 1974, pengairan suatu bidang pembinaan terhadap air, sumber air, termasuk kekayaan alam hewani yang terkandung di dalamnya, baik yang alamiah maupun yang telah diusahakan oleh manusia.

2.2. Sumber Air
Air permukaan dan air tanah merupakan sumber air utama yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pertanian, dan lain-lain. Namun demikian saat ini sebagian besar kebutuhan masih mengandalkan dari sumber air permukaan oleh karena itu, sumber air permukaan perlu dikelola dengan baik sehingga mampu memberikan manfaat bagi pengembangan sektor pertanian.
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah (sungai, danau, mata air, terjunan air). (Direktur Pengelolaan Air)
Air permukaan baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa) dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir di laut. Proses perjalanan air di daratan tersebut terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS).
Sampai saat ini, air permukaan sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik dan keperluan domestik lainnya. Penggunaan air tanah umumnya masih terbatas untuk minum, rumah tangga, sebagian industri, usaha pertanian pada wilayah dan musim-musim tertentu. Sumberdaya air merupakan sumberdaya yang terbaharuinamun demikian ketersediaannyatidak selalu sesuai dengan waktu, ruang, jumlah dan mutu yang dibutuhkan. Tujuan kegiatan pengembangan air permukaan adalah :
- memanfaatkan potensi sumber air permukaan untuk irigasi
- meningkatkan ketersediaan air irigasi sehingga dapat menjamin pasokan air dalam usaha tani
- meningkatkan luas areal tanam, indeks pertanaman dan produktivitas usaha tani
- meningkatkan produksi pertanian, pendapatan dan kesejahteraan petani.

2.3. Peranan Air Bagi Pertanian
Dalam kegiatan budidaya pertanian baik dalam pengembangan tanaman pangan, holtikultura, peternakan maupun perkebunan; ketersediaan air merupakan faktor yang sangat strategis. Tanpa adanya dukungan ketersediaan air yang sesuai dengan kebutuhan baik dalam dimensi jumlah, mutu, ruang maupaun waktunya, maka dapat dipastikan kegiatan budidaya tersebut akan berjalan dengan tidak optimal. Selain itu yang paling penting adalah manusia sangat membutuhkan air untuk memenuhi segala kebutuhannya. Oleh karena itu, perlu dilakukannya pengembangan sumber-sumber air.
Sebagaimana diketahui, setiap daerah di Indonesia tidak seluruhnya mendapatkan curah hujan yang sama, dengan demikian akan terdapat dua daerah ada yang curah hujannya telah mampu mencukupi kebutuhan pengairan dan ada daerah dengan lahan yang memerlukan pengairan (irigasi) bagi pertaniannya. Untuk itu, diperlukan pengelolaan air agar air yang tersedia mampu digunakan seefektif dan seefisien mungkin agar mampu memenuhi kebutuhan pertanian, dll.

2.4. Keadaan Pertanian di Indonesia
Lahan kering di Indonesia, 33,3 juta Ha (BPS, 1997), dengan sebagian besar lahan tersebut beriklim kering tipe D dan E berdasarkan klasifikasi zona iklim Oldeman.
Selain fakta tersebut, saat ini kekeringan mulai melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Ratusan ribu hektare tanaman pangan, terutama padi, di Pulau Jawa terancam. Luas lahan padi yang potensial gagal panen terus bertambah seiring dengan musim kemarau yang berubah pola.
Para ahli mengaitkannya dengan gejala pemanasan global yang menyebabkan musim hujan dan kemarau di Indonesia bergeser. Musim kemarau yang biasanya terjadi pada periode April sampai Oktober, tahun ini baru dimulai pada Juli. Demikian juga dengan musim hujan yang bergeser dari November sampai Maret ke Februari hingga Juni. Total luas tanaman padi yang kekeringan selama Januari-Juli 2007 mencapai 268.518 hektare. Kawasan tropis ditengarai akan menderita “pukulan produksi pangan” akibat besarnya variabilitas iklim menjelang 2030. Itu berarti kerawanan pangan akan sering terjadi. Kekhawatiran ini cukup beralasan. Karena meski bencana kekeringan sudah mengancam dan melanda sentra-sentra produksi beras di Jawa, pemerintah malah membantah terjadi bencana kekeringan nasional pada musim kemarau sekarang ini. Petani di daerah pantai utara (pantura) Jabar dan Jateng padahal sudah berteriak sawah mereka kering. Pemerintah harus menanggapi masalah ini dengan serius karena menyangkut produksi beras nasional. Pemerintah harus cepat menangani bencana alam yang sudah di depan mata.
Berdasarkan hasil analisis data historis yang disampaikan Direktur PLA Deptan, kekeringan kali ini selain merupakan kejadian musiman biasa, juga akumulasi dan interaksi tiga faktor penyebab lainnya, yaitu degradasi lingkungan dan sumber daya air, tata kelola air yang memburuk, dan dampak perubahan iklim global. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah harus mengantisipasi dengan cepat dan tepat faktor ini.
Dari permasalahan tersebut maka dibutuhkan suatu sistem pengaturan air/pengairan (irigasi) yang mampu memenuhi kebutuhan tanaman pertanian akan air pada saat-saat air hujan tidak dapat lagi diharapkan.

2.5. Sistem Irigasi
Kemarau datang, keresahan petani lahan kering semakin meningkat. Terbatasnya persediaan air irigasi untuk usaha taninya selalu menjadi masalah. Salah satu kendala pada daerah ini adalah terbatasnya air untuk tanaman, oleh karena itu dibutuhkan sistem irigasi pada saat terjadi saat-saat kering.
Untuk mengantisipasi dampak kemarau atas ketersediaan air untuk pertanian, penerapan beberapa Teknologi Tepat Guna akan sangat membantu diantaranya adalah sistem irigasi mikro, Teknologi Embung, Sistem Irigasi Dam Parit (Channel Reservoir), dan Sistem Irigasi Kendi.

2.5.1. Sistem Irigasi Mikro
Irigasi mikro adalah salah satu terobosan yang bisa dilakukan. Teknologi ini adalah suatu istilah bagi sistem irigasi yang mengaplikasikan air hanya di sekitar zona penakaran tanaman. Irigasi mikro ini meliputi irigasi tetes (drip irrigation), microspray dan mini-sprinkler.
BBP Mekanisasi Pertanian telah melakukan pengembangan sistem irigasi mikro. Lokasi pengembangan pertama dilakukan di kebun percobaan BBP Mektan Serpong. Pengembangan sistem irigasi tetes (drip) diterapkan untuk budidaya cabai dan jagung manis. Sistem irigasi sprinkler diterapkan pada tanaman kacang tanah. Pengujian kinerja terhadap sistem irigasi tetes diperoleh bahwa tingkat keseragaman tetesan untuk tanaman cabai mencapai 82.82% (SU) dan 88.74% (DU) sedangkan untuk tanaman jagung 83.46% (SU) dan 88.21% (DU). Dengan hasil uji tersebut dapat dikatakan bahwa sistem irigasi tetes yang digunakan untuk tanaman cabai dan jagung termasuk dalam katagori BAIK. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keseragaman tersebut antara lain adalah: kondisi filter air, kondisi lubang emitter yang tersumbat oleh tanah, perubahan koefisien gesek pada pipa lateral karena tumbuhnya lumut dsb.
Sedangkan untuk sistem irigasi curah diperoleh hasil tingkat keseragamannya mencapai 89.91% (CU). Dengan demikian sistem irigasi curah yang digunakan untuk tanaman kacang tanah termasuk kategori BAIK menurut standard Christiansen. Hasil ubinan tanaman cabai rata-rata pada lahan irigasi tetes adalah 4.4 ton/ha. Menurut Kusuma Inderawati (1982), potensi hasil yang dapat dicapai oleh tanaman cabai mencapai 6.21 ton/ha bila dilakukan perlakuan yang tepat terhadap jarak tanam, pH tanah 6 dan pemberian air yang tepat waktu dan kebutuhan. Hasil biji jarak petak sampel bervariasi karena tingkat keseragaman tetesan juga bervariasi. Hasil maksimum yang mampu dicapai adalah 5.55 ton/ha pada tingkat keseragaman 91.50%. Hasil ubinan tanaman kacang tanah rata-rata adalah 2.46 ton/ha. Hasil panen ubinan diperoleh bahwa produksi tanaman kacang tanah bervariasi mulai dari yang terendah 1.68 ton/ha sampai tertinggi 3.13 ton/ha. Hasil biji pada petak sampel bervariasi karena tingkat keseragaman curahan juga bervariasi. Kenampakan fisik tanaman di lapangan mendukung tingkat keseragaman distribusi curahan lebih baik dibanding irigasi tetes.
Hasil ubinan panen jagung untuk pemberian air dengan irigasi tetes mencapai 6,6 ton/ha. Hasil yang dicapai oleh irigasi tersebut hampir sama dengan rata-rata hasil potensial jagung varietas Semar yaitu 6 – 8 ton/ha. Selisih hasil yang dicapai antara penelitian di Serpong dan hasil potensialnya diperkirakan karena total air yang diberikan dalam satu periode musim tanam untuk metode irigasi tetes adalah 336,39 mm. Untuk mencapai kondisi potensial hasil diperlukan total air minimal 420 mm/musim serta syarat agronomis yang baik. Hasil maksimum yang mampu dicapai 7.8 ton/ha. Sehingga diduga hasil panen jagung masih dapat ditingkatkan lagi dengan meningkatkan tingkat keseragaman curahan sistem irigasi yang digunakan.
Lokasi pengembangan berikutnya adalah di lahan pasang surut Kalimantan Selatan yang dilaksanakan tahun anggaran 2006. Sistem irigasi yang diterapkan adalah irigasi tetes (drip) dengan menggunakan komponen emiter yang lebih murah (bekas tutup botol aqua). Hal ini merupakan terobosan baru untuk menjawab penggunaan teknologi tepat guna.
Atas dasar beberapa terobosan baru yang telah dilakukan oleh BBP Mektan, diharapkan mampu mengurangi kesulitan petani di musim kemarau. Juga disadari bahwa terobosan penerapan irigasi mikro di lahan kering membutuhkan investasi awal yang mahal. Untuk mengurangi beban petani, peran pemerintah dan dinas terkait sangat diperlukan dalam pendampingan kelembagaan. Penguatan kelembagaan di tingkat petani harus segera dilakukan, karena dengan kelembagaan yang kuat dapat mengelola sistem irigasi mikro dengan baik. Diharapkan petani di lahan kering dapat memanfaatkan salah satu sistem irigasi dalam pertaniannya.

2.5.2. Embung
Untuk mengantisipasi dampak kemarau atas ketersediaan air untuk pertanian, penerapan beberapa Teknologi Tepat Guna akan sangat membantu diantaranya adalah: Teknologi Embung. Teknologi ini pernah digalakkan beberapa tahun lalu dan telah terbukti berhasil pada daerah Semi Arid Tropic di dunia.
Di beberapa tempat di Indonesia teknologi ini sudah diterapkan. Embung adalah kolam penampung air hujan untuk mensuplai air di musim kemarau, menurunkan volume aliran permukaan sekaligus meningkatkan cadangan air tanah, dan mengurangi kecepatan aliran permukaan hingga daya kikis dan daya angkutnya menurun.
Teknologi Embung dapat meningkatkan intensitas tanah dan hasil usaha tani. Di Yogyakarta penanaman dapat dilakukan sepanjang tahun dengan pola padi, tembakau, jagung. Nilai usaha tani pada sawah tadah hujan meningkat dari Rp 4,3 juta/ha/tahun menjadi Rp 11,7 juta/ha/tahun. Pada lahan kering, maka usaha tani meningkat dari Rp 3,5 juta menjadi Rp 8,3 juta/ha/tahun.
Selain itu, Embung juga dapat digunakan untuk pemeliharaan ikan, dan air embung dapat pula dimanfaatkan untuk minum bagi ternak. Dengan penerapan teknologi ini, dalam jangka panjang diharapkan muka air tanah naik sehingga dapat dibuat sumur untuk keperluan rumah tangga. Lokasi yang sesuai untuk konstruksi umum bagi teknologi embung adalah :
1) Lapisan tanah bagian bawah kedap air,
2) kemiringan lahan kurang dari 40%,
3) tidak langsung dilalui oleh saluran pembuangan air utama.

2.5.3. Sistem Irigasi Dam Parit (Channel Reservoir)
Sistem Irigasi Dam Parit (Channel Reservoir), Sistem irigasi dam parit adalah sistem yang memanfaatkan aliran sungai dengan cara memotong aliran sungai dan mengumpulkan air dari aliran sungai tersebut untuk didistribusikan ke saluran irigasi yang ada. Dengan sistem ini, aliran permukaan dapat dikurangi sehingga dapat digunakan sebagai cara untuk penanggulangan banjir. Di samping itu, sistem ini dapat mengurangi sedimentasi dan pendangkalan sungai akibat sedimentasi karena berkurangnya laju aliran permukaan, dan meningkatkan permukaan air tanah. Sistem ini dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Litbang Pertanian.

2.5.4. Sistem Irigasi Kendi
Guna mendapatkan sistem irigasi yang hemat air untuk daerah lahan kering dan ancaman kekeringan yang melanda beberapa wilayah di Indonesia setiap tahun Setiawan et al (1998) telah mengembangkan sistem irigasi kendi di Indonesia sejak tahun 1996. dengan sistem ini air irigasi diberikan langsung pada zona perakaran tanaman dan penanaman tanaman lain di sekitar zona pembasahan. Sistem Irigasi Kendi. Ini adalah salah satu bentuk pemberian air pada tanaman melalui zona per-akaran tanaman. Irigasi kendi ini dapat menghemat penggunaan air dengan cara mengatur melalui sifat porositas kendi.
Mondal (1974) dan Stein (1990) memasukkan sistem irigasi kendi ke dalam sistem irigasi bawah permukaan. Selanjutnya Stein (1990) menggolongkannya lagi ke dalam irigasi lokal (Local Irrigation), karena rembesarn air irigasi terjadi secara lambat dengan volume yang rendah (kecil) pada zona perakaran tanaman, sehingga hanya sebagian tanah yang terbasahi, maka sistem irigasi ini mampu mengurangi evaporasi dan perkolasi (Modal, 1978).
Teknologi tersebut sudah pernah diujicobakan di lapangan dengan hasil memuaskan di beberapa daerah yaitu, NTB, NTT, Lombok Timur, Sukabumi, dan Bogor. Prof. DR. Budi Indra Setiawan yang melakukan penelitian tersebut, mengatakan bahwa lahan kering kini bisa menjadi lahan produktif terutama untuk budidaya hortikultura dengan menerapkan teknologi irigasi hemat air dan pupuk yaitu dengan teknologi irigasi kendi. Dijelaskan pula, penerapan teknologi tepat guna ini mampu meningkatkan pendapatan petani di desa-desa tertinggal yang pada umumnya berlokasi di lahan-lahan kering. Teknologi ini dapat menghemat penggunaan air dan pupuk pada budidaya tanaman di lahan terbuka, rumah kaca ataupun tanaman sela di antara tanaman perkebunan seperti cabai, lemon, melon, tomat dan lainnya. Dengan menggunakan kendi yang dirancang khusus agar dapat mengeluarkan keringat apabila diisi dengan air, bila kendi tersebut ditanam dalam tanah, maka air dalam kendi akan merembes melalui dindingnya kemudian membasahi tanah langsung ke daerah perakaran.
Sementara itu mengenai cara penggunanaanya, volume air dalam kendi dijaga agar selalu terisi air dengan menerapkan teknologi pemberian air bertekanan tetap yang dirancang khusus terbuat dari tangki air. Dengan demikian, pemberian air dan pupuk cair dapat dilakukan secara terpusat dan terkendali sehingga meringankan petani dalam mengairi tanamannya.
Secara operasional, kendi ditanam di bawah tanah dekat dengan zona perakaran tanaman. Jumlah kendi yang ditanam tergantung pada jenis tanaman, kebutuhan air tanaman, suplai air serta porositas tanah dan kendi.
Mekanisme pengisian air ke dalam kendi adalah dengan memasukkan air yang berasal dari air hujan atau sumber air lainnya melalui selang air. Pada waktu musim kering dimana ketersediaan air di dalam tanah berkurang, maka air dalam kendi akan mengalir ke luar melalui pori-pori kendi sesuai dengan prinsip hukum keseimbangan tekanan air di dalam tanah.


























BAB III
KESIMPULAN

Kekeringan mulai melanda sejumlah wilayah di Tanah Air. Ratusan ribu hektare tanaman pangan, terutama padi, di Pulau Jawa terancam. Luas lahan padi yang potensial gagal panen terus bertambah seiring dengan musim kemarau yang berubah pola.
Perubahan iklim, para ahli mengaitkannya dengan gejala pemanasan global menyebabkan musim hujan dan kemarau di Indonesia bergeser. Musim kemarau yang biasanya terjadi pada periode April sampai Oktober, tahun ini baru dimulai pada Juli. Demikian juga dengan musim hujan yang bergeser dari November sampai Maret ke Februari hingga Juni. Total luas tanaman padi yang kekeringan selama Januari-Juli 2007 mencapai 268.518 hektare.
Air demikian penting bagi kehidupan manusia, berbagai sektor dan kepentingan lainnya. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah air pengairan, yang sering bahkan menimbulkan berbagai masalah bagi berbagai kehidupan, jika tidak mampu melestarikannya. Kemarau datang, keresahan petani lahan kering semakin meningkat. Terbatasnya persediaan air irigasi untuk usaha taninya selalu menjadi masalah. Salah satu kendala pada daerah ini adalah terbatasnya air untuk tanaman, oleh karena itu dibutuhkan sistem irigasi pada saat terjadi saat-saat kering.
Untuk mengantisipasi dampak kemarau atas ketersediaan air untuk pertanian, penerapan beberapa Teknologi Tepat Guna akan sangat membantu diantaranya adalah sistem irigasi mikro, Teknologi Embung, Sistem Irigasi Dam Parit (Channel Reservoir), dan Sistem Irigasi Kendi.







DAFTAR PUSTAKA

2006. Wiyono, Joko. Musim Kemarau Datang, Sistem Irigasi Mikro di Lahan Kering Jadi Pilihan. Tabloid Sinar Tani, Penulis dari BBP Mektan, Serpong.

Salman Darajat. 2003. artikel pada halaman utama Sinar Harapan : Embung, Irigasi Kendi, dan Dam Parit. Badan Ketahanan Pangan, Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan Aceh Timur diakses pada web. http://www.sinarharapan.co.id/index.html (pada tgl. 8 November 2008).

2006. PRIDA Indonesia. Atasi Kekeringan Dengan Sistem Irigasi Kendi. Diakses pada web. http://www.pidra-indonesia.org/index2.php? (pada tgl. 8 November 2008).

2001. Edward, Saleh dan Setiawan, Budi Indra. Distribusi dan Profil Kelembaban Tanah pada sistem Irigasi Kensi pada tanaman sayuran di Daerah Kering. Jurnal ilmu-ilmu pertanian Indonesia vol.3 no.2. 2001. Hal. 94-98.

Sistem Pengelolaan Tanah Sebagai Media Bagi Tanaman Guna Mendukung Pertumbuhan Tanaman

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sumberdaya adalah segala sesuatu baik berupa benda nyata maupun tidak nyata, yang dibutuhkan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya. Sumber daya alam adalah sumber daya yang berasal dari benda fisik (alam), misalnya kayu, berbagai barang tambang, air, tanah, hutan dan sebagainya.
Sumberdaya alam di Indonesia sifatnya terbatas. Jumlah penduduk dan pola hidup yang kian meningkat memerlukan sumber daya alam yang semakin banyak pula. Perkembangan teknologi cenderung mengolah sumberdaya alam dengan produk sampingan berupa limbah yang semakin meningkat. Sumberdaya alam dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (1) sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, misalnya semua makhluk hidup termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan; (2) sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, misalnya tanah, air, bahan galian, mineral, dan lain-lain.
Ketika manusia hidup pada jutaan tahun yang lalu, manusia masih bisa menggantungkan pada alam, karena alam masih dalam kondisi yang baik dan belum terkontaminasi oleh zat-zat yang membahayakan bagi kehidupan manusia. Pola kehidupan manusia pada waktu itu masih sangat sederhana sehingga implikasi terhadap lingkunganpun sangat kecil sekali, itupun masih bisa ditolelir oleh alam. Karena alam masih bisa mencerna dan mengolah benda asing (pencemar) secara alamiah.
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam abad ke-20, dalam waktu yang relative singkat, keseimbangan antara kedua bentuk lingkungan hidup manusia, yaitu lingkungan hidup yang alami (natural environment or the biosphere of his inheritance) dan lingkungan hidup buatan (man-made environment or the technophere of his creation) mengalami ganguan (out of balance), secara fundamental mengalami konflik (potentially in deep conflict). Inilah yang dianggap sebagai awal krisis lingkungan, karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi tentang pengelolaan sumberdaya tanah yang baik serta hubungannya dengan media tumbuh tanaman dan agar dapat mempelajari dan memahami materi penduduk, tanah dan lingkungan; pembukaan lahan; pengolahan tanah; dan pengolahan tanah sawah.






















BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

4.1. Penduduk, Tanah dan Lingkungan Hidup
Penduduk
Penduduk adalah orang-orang yang berada di dalam suatu wilayah yang terikat oleh aturan-aturan yang berlaku dan saling berinteraksi satu sama lain secara terus menerus / kontinu. Dalam sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu. Penduduk suatu negara atau daerah
bisa didefinisikan menjadi dua:
• Orang yang tinggal di daerah tersebut
• Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut.
Indonesia dengan jumlah penduduknya kira-kira 185 juta, termasuk negara-negara yang paling banyak jumlah penduduknya. Karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan jumlah penduduk ini penting sekali di Indonesia. Kalau di masa depan jumlah ini mau jadi lebih banyak lagi, pasti ada lebih banyak masalah sosial lagi.
Meningkatnya kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan semakin berkembangnya sarana kesehatan, akan mengurangi angka kematian sehingga hal ini akan menyebabkan tingkat pertumbuhan penduduk semakin tinggi. Semakin banyak penghuni planet bumi, semakin banyak pula bahan makanan, air, energi, papan, dan sebagainya yang dibutuhkan oleh manusia. Ini berarti banyak pula tanah yang harus diolah, pemakaian pupuk pestisida, makin merosotnya kualitas air, harus membangun proyek-proyek pembangkit tenaga listrik, dan pemompaan sumur-sumur minyak. Akibatnya kualitas lingkungan menjadi semakin merosot. Bertambahnya jumlah penduduk di daerah perkotaan sebagai akibat urbanisasi juga menyebabkan merosotnya kualitas lingkungan.
Semakin besar jumlah penduduk, semakin meningkat pula pengeksploitasian terhadap sumber daya alam yang ada, sehingga menyebabkan daya dukung alam tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduk. Keadaan seperti ini akan menyebabkan terjadinya masalah-masalah sosial seperti, kriminalitas, konflik, kelaparan, migrasi, krisis ekonomi, dan sebagainya.
Tanah
Menurut Wikipedia Indonesia (2008) Tanah adalah bagian kerak bumi yang tersusun dari mineral dan bahan organik.
Tanah dapat dicermati menurut berbagai perspektif, yaitu wujud, reaktor, ekosistem, komponen lahan, sumberdaya alam, dan berkenaan dengan lingkungan hidup manusia. Perspektif wujud, reaktor, dan ekosistem membentuk serapan hakekat tanah. Perspektif komponen lahan, sumberdaya alam, dan yang berkenaan dengan lingkungan hidup manusia membentuk serapan hakekat tanah.
Tanah sebagai wujud adalah tanah sebagai gejala alam permukaan daratan yang membentuk suatu mintakat (zone) yang disebut pedosfer dan tersusun atas massa galir (loose) berupa campuran pecahan dan lapukan bahan mineral dengan hancuran bahan organik. Pedosfer merupakan mintakat tumpang-tindih (overlap) dan saling tindak (interaction) litosfer, atmosfer, hidrosfer, dan biosfer. Maka tanah merupakan gejala lintas batas antar berbagai gejala alam permukaan daratan. Bahan mineral tanah berasal dari litosfer. Bahan organiknya bersal dari biosfer. Pori-pori tanah berisi air yang berasal dari hidrosfer dan berisi udara yang berasal dari atmosfer.
Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak. Tanah merupakan faktor penting bagi kehidupan manusia, karena akan mencukupi segala kebutuhan hidup dengan segala hasil yang hampir seluruhnya tersedia di dalam tanah. Namun pada umumnya setelah manusia menguasai sebidang tanah/lahan sering menelantarkan tanah, dan mengabaikan fungsi tanah, sehingga tanah menjadi rusak. Penggunaan tanah secara optimal seharusnya disertai dengan usaha-usaha untuk memperbaiki daya dukung tanah.
Tujuan pengelolaan lahan adalah :
- mengatur pemanfaatan sumber daya lahan secara optimal
- mendapatkan hasil maksimal
- mempertahankan kelestarian sumber daya lahan
Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup adalah tempat di mana kita berada dan tinggal saling berdampingan, saling berinteraksi, saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Di dalam lingkungan ini, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan termasuk benda-benda mati ada dan hidup berdampingan satu sama lain. Tempat di mana makhluk-makhluk hidup dan mati ada, bertumbuh dan berkembang itulah yang disebut lingkungan hidup.
Menurut Otto Sumarwoto yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah : “ Lingkungan atau lingkungan hidup adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita”.
Pengertian Lingkungan Hidup menurut Undang-Undang Republik Indonesia no. 23 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah : kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahkluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lingkungan hidup termasuk Sumber Daya Alamnya baik secara global, regional maupun nasional dalam sejarah peradaban manusia telah memberikan dua makna bagi manusia. Disatu sisi, makna yang dirasakan adalah meningkatknya kesejahteraan dan kualitas hidup manusia, sedangkan di bagian lain menyebabkan bencana dan sekaligus penurunan kualitas hidup manusia .
Konsep-konsep sistem lingkungan hidup antara lain mencakup: konservasi spesies dan habitat, memahami peranan hutan sebagai proteksi sumber air, proses pencucian tanah, persoalan lingkungan pantai dan laut, wabah oleh hama serangga dan polusi.
Dalam undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkukangan hidup disbutkan beberapa sasaran dari pengelolaan lingkungan hidup yang antara lain :
1. Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup.
2. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup.
3. Terjaminya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan.
4. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup
5. Terkendalinya pemamfaatan sumber daya secara bijaksana
6. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah Negara yang menyebabkan pencemaran dan /atau perusakan lingkungan hidup.
Jelas bahwa keberadaan lingkungan hidup sangat dekat dengan manusia. Antara manusia dan lingkungan hidup ibarat teman yang sulit dipisahkan satu dengan yang lain. Mereka begitu terkait erat satu sama lain. Keterkaitan itu dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dengan adanya tumbuh-tumbuhan, kita bisa mendapat oksigen untuk bernapas. Begitu juga dengan tanah, udara, air dan hutan. Dengan adanya tanah, kita bisa berpijak dan bisa menanam tanaman untuk bisa hidup. Udara; dengan adanya udara kita bisa menghirup demi mempertahankan napas hidup. Air; dengan adanya air kita bisa melepaskan rasa dahaga. Hutan; dengan adanya hutan, kita bisa bebas dari erosi dan sumber air semakin banyak, dan seterusnya.
Dampak perusakan lingkungan hidup
Salah satu masalah yang sering terjadi di Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya adalah banjir. Hampir setiap tahun kita mendengar berita tentang banjir, longsor yang menyebabkan banyak orang meninggal dunia. Pelaku utama dari semua kerusakan lingkungan hidup itu adalah manusia. Sampah dibuang di sembarang tempat, bukit digali menjadi rata, dan seterusnya. Padahal lingkungan hidup baginya adalah tempat di mana dia mencari makan untuk bisa mempertahankan hidup.
Contoh lain adalah hutan. Kita mengetahui bahwa hutan memiliki fungsi perndungan terhadap tanah. Tetesan hujan yang jatuh dari awan mempunyai energi tertentu karena gerak jatuhnya. Dengan adanya hutan maka tetesan air hujan ini bisa diresap ke dalam tanah. Sebaliknya, tetesan ini akan menjadi berbahaya apabila tidak ada daun-daun yang bisa menyerap air hujan yang jatuh. Akibatnya air hujan yang jatuh dengan bebas mengalir ke atas permukaan tanah, mengikis tanah dan akhirnya bisa menyebabkan banjir atau longsor.
Ada beberapa akibat yang ditimbulkan oleh erosi: pertama, kesuburan tanah semakin berkurang. Hal itu disebabkan tanah yang subur ialah tanah yang terdapat di bagian lapisan atas. Dengan hilangnya lapisan atas tanah, hilang pulalah kesuburan tanah. Kedua, menurunnya produksi yang selanjutnya akan mengurangi pendapatan petani. Hal yang pasti terjadi bila terjadi erosi adalah humus tanah yang menjadi sumber kesuburan tanah ikut terbawa banjir. Hal ini menyebabkan hasil tanah para petani semakin berkurang. Persediaan makanan pun ikut menurun. Akibatnya banyak orang yang menderita kekurangan gizi atau kelaparan. Ketiga, air bersih dan sehat menjadi semakin berkurang. Hujan yang begitu lama pasti menimbulkan erosi/banjir. Akibat dari banjir ini adalah air menjadi keruh; sebab air yang mengalir itu bercampur dengan tanah, batu atau juga kotoran-kotoran lainnya. Semuanya akan bemuara di laut, kotoran-kotoran ini dihempaskan ke pinggir, termasuk juga ke pinggir laut yang menjadi terminal bagi kendaraan laut. Pelabuhan semakin dangkal dan bahkan akan menjadi dangkal. Lalu lintas laut macet dan kita akan menjadi orang yang tinggal di tempat.
Penanggulangan kerusakan lingkungan hidup
Semuanya pasti menghendaki agar peristiwa-peristiwa tragis yang mengancam kehidupan manusia tidak perlu terjadi lagi Karena akan memunculkan berbagai masalah, baik yang berkaitan dengan nyawa manusia maupun dengan harta kekayaannya.
Salah satu cara sederhana untuk menanggulangi kerusakan lingkungan hidup adalah membangun kesadaran baru yang berorientasi pada mencintai lingkungan. Namun kesadaran baru ini harus disertai dengan tindakan nyata, seperti reboisasi atau penghijauan, membuang sampah pada tempatnya, memperhatikan selokan-selokan, merubah sikap yang rakus merusak hutan dan berusaha untuk mencintai hutan.
Semua mempunyai tanggung jawab untuk memelihara lingkungan hidup. Semuanya dituntut untuk merubah pola pikir kita yang cenderung melihat lingkungan hidup hanya dari sisi pemenuhan hasrat untuk memperoleh harta yang banyak kepada pola pikir yang melihat lingkungan hidup sebagai teman yang bisa hidup berdampingan.

4.2. Pembukaan Lahan
Semakin bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan bertambahnya tekanan terhadap lahan, sehingga banyak dilakukan pembukaan hutan menjadi lahan pertanian, pemukiman bahkan untuk industri.
Pembukaan lahan yang tidak menggunakan prinsip dapat mengakibatkan banyak hal negatif, tidak hanya dalam hal pembukaannya tetapi juga pada penggunaan dan pengelolaannya. Pembukaan secara besar-besaran antara lain menggunakan alat-alat berat dapat menimbulkan pencemaran suara. Tidak hanya itu, keterlambatan penanaman lahan yang telah dibuka juga banyak menimbulkan erosi pada saat musim hujan. Sehingga banyak kemungkinan perairan menjadi keruh dan pada gilirannya mengakibatkan gangguan terhadap kehidupan perairan misalnya turunnya produksi perikanan.sedangkan erosi yang terus menerus dan berlebihan mengakibatkan sedimentasi.
Terdapat dua cara dalam pembukaan lahan yaitu : pembukaan lahan dengan pembakaran dan pembukaan lahan tanpa pembakaran. Keduanya akan dipaparkan dibawah ini.
4.2.1. Pembukaan Lahan Dengan Pembakaran
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.
Pada beberapa tahun belakangan ini peristiwa kebakaran hutan merupakan salah satu peristiwa yang banyak terjadi di wilayah Indonesia. Peristiwa kebakaran hutan bukan hanya menimbulkan kerugian penduduk dan pemerintah Indonesia, namun juga asap kebakaran hutan tersebut menyebar ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Bahkan baru-baru ini Pemerintah Singapura secara khusus mengirimkan personil dan peralatan untuk mengatasi kebakaran hutan di propinsi Riau. Di mana kebakaran hutan dalam skala luas akan menyebabkan perubahan iklim secara global di asia tenggara.
Di Indonesia peristiwa kebakaran hutan pada awalnya disebabkan adanya aktivitas penduduk yang melakukan pembersihan ladang atau alang-alang untuk lahan pertanian dengan cara pembakaran. Penduduk melakukan hal cara tersebut karena dipandang paling efisien. Namun kondisi iklim yang kering serta tiupan angin kencang, pembakaran ladang tersebut menjadi tidak terkendali. Api menjalar ke kawasan disertai kepulan asap.
Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara.
Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.
Kebakaran Hutan dan Faktor Penyebabnya
Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).
Analisis terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia (Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999).
Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:
1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.
2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.
3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.
Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembukaan karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.
Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.
Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.
1. Dampak Terhadap Sosial, Budaya dan Ekonomi
a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan.
Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya yang secara otomatis juga ikut mempengaruhi penghasilannya. Setelah kebakaran usaipun dipastikan bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa mengambil hasil hutan tersebut seperti rotan, karet dsb.
b. Terganggunya aktivitas sehari-hari
Adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivoitas yang menuntut manusia untuk berada di luar ruangan. Adanya gangguan asap akan mengurangi intensitas dirinya untuk berada di luar ruangan.
c. Peningkatan jumlah Hama
Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Bila tidak “mencampuri” urusan produksi manusia maka ia akan tetap menjadi spesies sebagaimana spesies yang lain. Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk rantai kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari rantai ekosistem tersebut. Dan dalam beberapa kasus ‘ia’ masuk dalam komunitas manusia dan berubah fungsi menjadi hama dengan merusak proses produksi manusia yang ia tumpangi atau dilaluinya.Hama itu sendiri tidak harus berbentuk kecil. Gajah dan beberapa binatang bertubuh besar lainnya ‘harus’ memorakmorandakan kawasan yang dilaluinya dalam upaya menyelamatkan diri dan dalam upaya menemukan habitat barunya karena habitat lamanya telah musnah terbakar.
d. Terganggunya kesehatan
Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi penyebab utama munculnya penyakit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan. Gejalanya bisa ditandai dengan rasa sesak di dada dan mata agak berair. Untuk Riau kasus yang paling sering terjadi menimpa di daerah Kerinci, Kabupaten Pelalawan (dulu Kabupaten Kampar) dan bahkan di Pekanbaru sendiri lebih dari 200 orang harus dirawat di rumah sakit akibat asap tersebut.
e. Produktivitas menurun.
Munculnya asap juga menghalangi produktivitas manusia. Walaupun kita bisa keluar dengan menggunakan masker tetapi sinar matahari dipagi hari tidak mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu kerja seseorangpun berkurang karena ia harus menunggu sedikit lama agar matahari mampu memberikan sinar terangnya. Ketebalan asap juga memaksa orang menggunakan masker yang sedikit banyak mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
2. Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan
a. Hilangnya sejumlah spesies
Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung dari segala penjuru. Belum ada penelitian yang mendalam seberapa banyak spesies yang ikut tebakar dalam kebakaran hutan di Indonesia.
b. Ancaman erosi
Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah - akibat terbakar sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor.
c. Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan
Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut. Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukkan menjadi lahan-lahan perkebunan dan kalaupun tidak maka ia akan menjadi padang ilalang yang akan membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula.
d. Penurunan kualitas air
Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana.
e. Terganggunya ekosistem terumbu karang
Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa.
f. Menurunnya devisa negara
Turunnya produktivitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya turut mempengaruhi pendapatan negara.
g. Sedimentasi di aliran sungai
Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosis yang terus menerus.
3. Dampak Terhadap Hubungan Antar negara
Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sayangnya tidak mengenal batas administratif. Asap tersebut justru terbawa angin ke negara tetangga sehingga sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran di negara Indonesia. Akibatnya adalah hubungan antaranegara menjadi terganggu dengan munculnya protes keras dari Malaysia dan Singapura kepada Indonesia agar kita bisa secepatnya melokalisir kebakaran hutan agar asap yang ditimbulkannya tidak semakin tebal.Yang menarik, justru akibat munculnya protes dari tetangga inilah pemerintah Indonesia seperti kebakaran jenggot dengan menyibukkan diri dan berubah fungsi sebagai barisan pemadam kebakaran. Hilangnya sejumlah spesies dan berbagai dampak yang ditimbulkan ternyata kalah penting dibanding jeweran dari tetangga.
4. Dampak terhadap Perhubungan dan Pariwisata
Tebalnya asap juga mengganggu transportasi udara. Sering sekali terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di satu tempat karena tebalnya asap yang melingkungi tempat tersebut. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena keengganan orang untuk berada di temapt yang dipenuhi asap
4.2.2. Pembukaan Tanpa pembakaran
Adanya kemarau panjang mengakibatkan kekeringan yang dampaknya semakin terasakan dari tahun ketahun, dan terjadinya kebakaran hutan dan lahan sangat merugikan karena berdampak negatif bagi ekonomi masyarakat dan negara, bagi kesehatan, terganggunya aktivitas sosial dan adanya asap melintasi batas negara tetangga akan mengganggu hubungan baik antara Indonesia dengan negara tetangga.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan upaya & usaha : upaya antara lain melalui pencegahan, pengendalian secara terpadu dan penegakan hukum. Semua kegiatan tersebut menyangkut berbagai pihak yang terkait baik pemerintah, perusahaan maupun masyarakat pada umumnya dan juga kerjasama dengan negara-negara lain khususnya negara anggota ASEAN.
Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/1983 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.
Untuk itu, dalam pembukaan lahan sebaiknya tidak dilakukan dengan pembakaran karena selain merusak lahan dan tanaman juga menyebabkan polusi udara.
Kebijakan utama adalah menerapkan perizinan pembukaan lahan untuk pemanfaatan ruang kegiatan pertanian-perkebunan-HTI agar menggunakan metoda pembukaan selain pembakaran.
Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan oleh faktor kemiskinan dan ketidakadilan, rendahnya kesadaran masyarakat, terbatasnya kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk penanggulangan kebakaran, maka untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan di masa depan antara lain:
1 Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan semak belukar.
2 Memberikan penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau merevisi hukum negara dengan mengadopsi hukum adat.
3 Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan maupun pendidikan formal. Pembukaan program studi penanggulangan kebakaran hutan merupakan alternatif yang bisa ditawarkan.
4 Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat lunak maupun perangkat kerasnya.
5 Penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan khususnya yang memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran.
6 Mengoptimalkan sistem informasi kebakaran hutan yang ada.

4.3. Pengolahan Tanah
Menurut pengertian umum tanah selalu dikaikan dengan pertanian, pengolahan tanah adalah tindakan atau seni mengunakan tanah untuk produksi pertanaman sinambung yang menguntungkan. Produksi tersebut melibatkan segala tindakan mengolah dan menggarap tanah serta budidaya pertanaman berupa pemeliharaan dan perbaikan fisik tanah, bahan organik tanah.hara tersediakan,kegiatan biologi tanah,dan konsevasi tanah dan air (America society of agricultural engineers ,1967;london, 1984)
Meskipun produksi pertanaman merupakan fungsi utama tanah, namun tanah masih mempunyai funsi - fungsi lain yang tidak boleh diabaikan. Maka penertian pengelolaan tanah perlu di perluas cakupannya. Keadaan tanah, termasuk potensi kegunaan dan kerentanan terhadap degradasi ditentukan oleh sifat nasabah tanah dengan komponen komponen lahan yang lain. Karena itu asas pengelolaan tanah ialah perbaikan, pembenahan atau pengaturan nasabah tersebut.Tindakan ini bertujuan di satu pihak melancarkan daya tanggap tanah terhadap pengaruh komponen lahan yang lain bersifat menguntungkan bagi potensi kegunaaan tanah, dan dipihak lain bertujuan memperkuat ketanahan tanah menghadapi usikan komponen lahan yang lain yanh bersifat merugikan atau membahayakan tanah.
Masalah tanah dengan komponen lahan yang lain dapat bersifat konfensatif atau anti kompensatif. Nasabah tanah pasiran dengan iklim basah, atau nasabah tanah lempungan atau kaya bahan organik dengan iklim kering, bersifat kompensatif dilihat dari segi bekalan (supply) lengas tanah kepada tumbuhan. Kekurangmampuan tanah pasiran menyimpan air dikompensasi olek iklim basah yang mampu membekali air yang banyak sepanjang tahun. Akaekurang mampuan iklim kering membekali air cukup sepanjang tahun dikompensasi oleh tanah lempungan atau kaya bahan organik yang mampu menyimpan air banyak . Tanah dengan lereng bernasabah antikompensatif dilihat dari segi erosi tanah oleh air.Makin besar lereng, Tanah makin rentan terhadap erosi.
Antara tanah dan vegetasi alami berlangsung nasabah pendauran unsur hara. Vegetasi menyerap unsur hara dari tanah dan mengembalikannya ke tanah dalam bentuk bahan organik berupa seraasah dan jaringan tumbukan mati. Oleh edafon pengurai bahan organik, unsur hara dibebaskan kembali dari senyawa organik. Dalam hal vegetasi yang terdiri dari tumbuhan berakar daun, terjadi pengalihan tempat unsur hara diserap akar ke bagian atas tubuh tanah. Tempat unsur hara dikembalikan dalam bentuk sangat berguna bagi pemeliharaan kesuburan lapisan permukaan tanah, yang pada gilirannya bermanfaat sekali bagi tumbuhan berakar dangkal. Mekanisme pemompaan unsur hara menjadi dasar atas asas pengelolaan tanah dalam sistem budidaya ladang, yang merupakan bentuk awal sistem wanatani (agroforestry). Dalam sistem pertanian menetap, mekanisme pemompaan unsur hara disulih dengan pemupukan.
Degradasi tanah dapat terjadi karena dampak langsung atau tidak langsung atas tanah. Dampak langsung terjadi karena pengolahan tanah yang berlebihan, penggunaan alat dan mesin yang memampatkan tanah, pemupukan dan pupuk yang menggunakan bahan kimia bertakaran tinggi dan tidak berimbang, pencemaran,dsb. Dampak tidak langsung terjadi karena penurunan atau perusakan kinerja suatu komponen lahan sehingga mengganggu atau memutuskan nasabah knpensatifnya dengan tanah. Misalnya, pembukaan hutan sehingga tanah tidak lagi terlindung dari daya mengerosi curah hujan, pengatusan(drainage), tanah rawa gambut yang merubah hidrologi dengan akibat amblesan(subsidence) tanah, perubahan bentuk muka tanah, dan munculnya sifat hidrofobik gambut,dsb.
Pendek kata, pengelolaan tanah bertujuan memelihara tanah agar dapat mempertahankan fungsinya yang sudah baik, atau membuat tanah agar dapat berfungsi dengan lebih baik. Oleh karena tanah dapat difungsikan untuk berbagai keperluan, pengelolaan pun bermacam-macam.

4.4. Pengolahan Tanah Sawah
Sawah merupakan suatu sistem budaya tanaman yang khas dilihat dari sudut kekhususan pertanaman yaitu padi, penyiapan tanah, pengelolaan air dan dampaknya pada lingkungan. Maka sawah perlu diperhatikan secara khusus dalam penatagunaan lahan. Meskipun di lahan sawah dapat diadakan pergiliran tanaman, namun pertanaman pokok selalu padi. Jadi, kalau kita berbicara tentang sawah pokok pembicaraannya tentu padi dan beras. Sejak zaman dulu hingga sekarang, hampir semua sawah ditanami dengan cara konvensional. Petani meneruskan cara budidaya yang biasa dilakukan orang tua atau kenalannya. Orang tua atau kenalan tersebut pun hanya meniru atau mengikuti cara yang biasa dilakukan generasi sebelumnya.
Penyiapan tanah sawah menyebabkan sifat-sifat fisik, kimia, biologi dan morfologi berubah nyata. Keadaan tanah alami, menjadi keadaan tanah buatan sesuai dengan keadaan yang dikehendaki oleh pertanaman selain padi.
Pengolahan tanah bertujuan mengubah keadaan tanah pertanian dengan alat tertentu hingga memperoleh susunan tanah (struktur tanah) yang dikehendaki oleh tanaman.
Tujuan pengolahan lahan pada budi daya padi sawah adalah mengubah sifat fisik tanah agar lapisan atas yang semula keras menjadi datar dan melumpur . Keuntungan yang didapat selama pengolahan tanah yaitu gulma mati yang kemudian akan membusuk menjadi humus , aerasi tanah menjadi lebih baik , lapisan bawah tanah jenuh air , dan dapat menghemat air . Pada pengolahan tanah sawah , dilakukan perbaikan dan pengaturan pematang sawah serta selokan . Galengan {pematang } sawah diupayakan agar tetap baik untuk mempermudah pengaturan irgasi sehingga tidak boros air dan mempermudah perawatan tanaman.
Pengolahan tanah sawah terdiri dari beberapa tahap :
a. Pembersihan
b. Pencangkulan
c. Pembajakan
d. Penggaruan

a. Pembersihan
Dalam pengolahan tanah sawah, langkah pertama yang harus dilakukan yaitu dengan adanya pembersihan. Pembersihan dimaksudkan agar pada saat pertumbuhan atau penanaman tidak terganggu. Misalnya saja pada selokan-selokan perlu dibersihkan, agar air tidak menghambat lajunya air untuk jalannya air irigasi yang akan menunjang pertumbuhan tanaman. Jerami yang ada perlu di babat untuk pembuatan kompos yang bermanfaat bagi tanaman. Galengan sawah dibersihkan dari rerumputan, diperbaiki, dan dibuat agak tinggi. Fungsi utama galengan disaat awal untuk menahan air selama pengolahan tanah agar tidak mengalir keluar petakan. Fungsi selanjutnya berkaitan erat dengan pengaturan kebutuhan air selama ada tanaman padi . Saluran atau parit diperbaiki dan dibersihkan dari rerumputan . Kegiatan tersebut bertujuan agar dapat memperlancar arus air serta menekan jumlah biji gulma yang terbawa masuk ke dalam petakan. Sisa jerami dan sisa tanaman pada bidang olah dibersihkan sebelum tanah diolah. Jerami tersebut dapat dibakar atau diangkut ke tempat lain untuk pakan ternak, kompos, atau bahan bakar. Pembersihan sisa – sisa tanaman dapat dikerjakan dengan tangan, cangkul, atau linggis .












Gbr. 1. Pembersihan jerami

b. Pencangkulan
Hal kedua yang harus dikerjakan dalam pengolahan tanah sawah, yaitu setelah tadi dilakukan pembersihan, selanjutnya adalah tahap pencangkulan. Pencangkulan dilakukan pada sudut – sudut petakan sawah yang sulit untuk dibajak dan perbaikan pematang dicangkul untuk memperlancar pekerjaan bajak atau traktor .












Gbr. 2. Proses pencangkulan

c. Membajak
Tahap selanjutnya yakni membajak. Pembajakan dan penggaruan merupakan kegiatan yang berkaitan. Pengolahan tanah dilakukan dengan dengan menggunakan mesin traktor. Sebelum dibajak, tanah sawah digenangi air agar gembur. Lama penggenangan sawah dipengaruhi oleh kondisi tanah dan persiapan tanam. Pembajakan biasanya dilakukan dua kali . Dengan pembajakan ini diharapkan gumpalan – gumpalan tanah terpecah menjadi kecil – kecil. Gumpalan tanah tersebut kemudian dihancurkan dengan garu sehingga menjadi Lumpur halus yang rata. Keuntungan tanah yang telah diolah tersebut yaitu air irigasi dapat merata.
Pada petakan sawah yang lebar, perlu dibuatkan bedengan – bedengan. Antara bedengan satu dengan bedeng lainnya berupa saluran kecil. Ujung saluran bertemu dengan parit kecil di tepi galengan yang berguna untuk memperlancar air irigasi. Pada tahap pengolahan tanah ini kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan sebanyak 24 HOK(Hari Orang Kerja) serta 2 hari mesin traktor bekerja. Selain memecah tanah menjadi bongkahan-bongkahan tanah, membajak juga membalikkan tanah beserta tumbuhan rumput (jerami) sehingga akhirnya membusuk, yang nantinya berguna untuk penambahan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman. Proses pembusukan ini dibantu dengan adanya mikro organisme yang ada di dalam tanah.
d. Menggaru
Tahapan selanjutnya adalah menggaru. Yakni meratakan dan menghancurkan gumpalan-gumpalan tanah. Pada saat menggaru sebaiknya sawah dalam keadaan basah, dan selama digaru, saluran pemasukan dan pengeluaran air ditutup agar lumpur tidak hanyut terbawa air keluar. Pengguruan yang dilakukan berulang kali akan memberikan keuntungan, permukaan tanah menjadi rata, air yang merembes ke bawah jadi berkurang, sisa tanaman atau rumput akan terbenam, penanaman menjadi mudah, dan juga meratakan pembagian pupuk dan pupuk terbenam. Pembajakan dan penggaruan merupakan kegiatan yang berkaitan. Kedua kegiatan tersebut bertujuan agar tanah sawah melumpur dan siap ditanami.



Bdul,,,,
Ada beberapa yang yuni kasih tanda merah, itu tolong dicari daftar pustakanya ya...












BAB III
KESIMPULAN

Semakin banyaknya jumlah penduduk, semakin banyak pula bahan makanan, air, energi, papan, dan sebagainya yang dibutuhkan oleh manusia. Ini berarti banyak pula tanah yang harus diolah, pemakaian pupuk pestisida, makin merosotnya kualitas air, harus membangun proyek-proyek pembangkit tenaga listrik, dan pemompaan sumur-sumur minyak. Akibatnya kualitas lingkungan menjadi semakin merosot. Semakin besar jumlah penduduk, semakin meningkat pula pengeksploitasian terhadap sumber daya alam yang ada, sehingga menyebabkan daya dukung alam tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduk.
Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar.
Semakin bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan bertambahnya tekanan terhadap lahan, sehingga banyak dilakukan pembukaan hutan menjadi lahan pertanian, pemukiman bahkan untuk industri. Pembukaan lahan yang tidak menggunakan prinsip dapat mengakibatkan banyak hal negatif, tidak hanya dalam hal pembukaannya tetapi juga pada penggunaan dan pengelolaannya. Terdapat dua cara dalam pembukaan lahan yaitu : pembukaan lahan dengan pembakaran dan pembukaan lahan tanpa pembakaran.
Setelah dilakukan pembukaan lahan, jika lahan tersebut akan digunakan untuk pertanian baik sawah maupun pertanian lahan kering harus dilakukan pengolahan tanah. Pengolahan tanah adalah tindakan atau seni mengunakan tanah untuk produksi pertanaman sinambung yang menguntungkan. Produksi tersebut melibatkan segala tindakan mengolah dan menggarap tanah serta budidaya pertanaman berupa pemeliharaan dan perbaikan fisik tanah, bahan organik tanah.hara tersediakan, kegiatan biologi tanah, dan konsevasi tanah dan air. Tujuan pengolahan tanah adalah untuk menggemburkan tanah sehingga menjadi media yang baik untuk pertumbuhan tanaman. Pengolahan tanah sawah terdiri dari beberapa tahap : Pembersihan, Pencangkulan, Pembajakan, dan Penggaruan.

DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia. 2008. Tanah. Diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah (pada tanggal 16 September 2008)

Otto sumarwoto, 1976 di kutip dari buku Daud Silalahi Dalam Hukum Lingkungan, dalam sistim penegakan Hukum Lungkungan, Alumni, 2001 : hal :9.

Conservation International Indonesia(Tropika). 2007. Manusia dan Lingkungan Hidup. diakses di http://www.conservation.or.id/tropika (pada tanggal 16 September 2008).

gambut

Lahan gambut tropis meliputi areal seluas 40 juta ha dan 50% diantaranya terdapat di Indonesia (Maltby & Immirizi, 1993). Lahan gambut tersebar di Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua). Dewasa ini lahan gambut di Indonesia sudah banyak mengalami pengurangan, baik luasan, penyebaran, maupun kualitasnya. Pengurangan tersebut disebabkan oleh konversi penggunaan lahan, pembalakan liar (illegal logging), dan kebakaran hutan. Kondisi ini jelas menjadi ancaman serius, utamanya bagi penduduk lokal yang menggantungkan sumber penghidupannya pada lahan gambut. .
Apa Itu Gambut ?
Tanah gambut terbentuk dari hasil pelapukan bahan organik terutama sisa-sisa jaringan tumbuhan. Pada tahap awal, proses pengendapan bahan organik terjadi di cekungan di belakang tanggul sungai. Dengan adanya air tawar dan air payau yang menggenangi cekungan, proses pelapukan bahan organik menjadi sangat lambat.Selanjutnya terjadi penimbunan bahan organik secara perlahan dan akhirnya terbentuk endapan gambut dengan ketebalan bervariasi.
Karakteristik Gambut
Gambut adalah sebentuk ekosistem khas yang terdapat di daratan Indonesia . Bahkan, Indonesia seharusnya bangga karena gambut dengan lapisan terdalam di dunia (sekitar 16 meter) ada di Kalimantan, dengan pusatnya di Kalimantan Tengah. Secara ekologis, fungsinya adalah sebagai tempat pemijahan ikan, penyimpan (reservoir) air, penyangga keanekaragaman hayati hutan hujan tropis, habitat orang utan (Pongo pygmaeus), pengendali/penyerap emisi karbondioksida (CO2), dan sumber penghidupan bagi penduduk lokal. Secara taksonomi tanah Gambut (peat soil), disebut Histosol atau Organosol, memiliki bulk density > 0,1 g/cm3 (Widjaja Adhi, 1986). Tanah ini biasanya berwarna coklat, hitam, atau coklat kehitaman dan berpH asam (3 - 4,5). Ditinjau dari biofisik lahan gambut memiliki kendala: Penurunan permukaan gambut (subsidence) jika di drainase; Kering tak balik jika kekeringan (irreversible); Mudah terbakar; pH rendah; Kahat hara makro: P dan K; Kahat hara mikro: Zn, Cu dan B. Terdapat tiga macam bahan organik tanah yang dikenal berdasarkan tingkat dekomposisi bahan tanaman aslinya (Andriesse, 1988 dan Wahyunto et al., 2003), yaitu fibrik, hemik dan saprik.
- Pengelolaan lahan gambut –



Pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian berdasarkan ketebalan lahan gambut tersebut. Widjaya Adhhi,1995 dalam Tabel 1. menentukan Tipologi lahan gambut dan tipe luapan serta saran penataan
Keterangan tipe luapan :
A, lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil,
B, lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar,
C, lahan yang tidak pernah terluapi walau pasang besar, air tanah < 50 cm
D, lahan yang tidak terluapi, air tanah lebih dalam dari 5cm






Teknologi Pengelolaan Lahan Gambut
1. Reklamasi lahan → pengelolaan Hidrologi
Drainase lahan untuk mematangkan gambut dengan mengeringkannya sekali-kali, namun jangan dibiarkan menjadi terlalu
kering atau melewati batas kering tak-balik. Akibatnya lahan tersebut tidak dapat ditanami karena tidak dapat menyediakan air untuk keperluan tanaman. Apabila lapisan tanah di bawah gambut merupakan tanah liat, mungkin cukup subur. Tetapi bila di bawah gambut ada pasir, tanah tersebut kurang subur.
2. Ameliorasi → pengolahan tanah, pemupukan, dan pengapuran
pertanian berkelanjutan dalam konteks pertanian lahan gambut berarti sistem pertanian yang berwawasan lingkungan dengan berdasarkan pada kesesuaian lahan, pengawetan lapisan gambut.
teknik pertanian modern yang diperkenalkan adalah pengelolaan air untuk irigasi yang lebih efektif, pemberian bahan tertentu untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, strategi Tanpa olah Tanah dan olah lubang.
penggunaan pupuk kimia yang tidak ramah lingkungan, akan menambah kadar keasaman dan menyebabkan semakin banyak emisi CO2 yang dilepaskan ke udara. Input yang dianjurkan adalah abu yang dibuat dari sekam padi, rumput alang-alang, atau sisa tanaman budi daya yang dicampur dengan pupuk kotoran ayam.
Konservasi Lahan dengan Teknologi Tradisional "Tepulikampar". Teknologi tinggi tidak harus canggih dan serba modern, tetapi dapat digali dari cara-cara tradisional yang berkembang di masyarakat. Teknologi penyiapan lahan sawah yang diterapkan petani Banjar secara turun-temurun ternyata mengandung kaidah-kaidah konservasi lahan yang bermanfaat dalam mempertahankan kesuburan tanah serta memperbaiki kualitas tanah dan air.

Dampak Pengelolaan yang Tidak Terkendali terhadap Lingkungan
Pemanfaatan lahan gambut sangat terkait dalam kegiatan konversi hutan, industri perkayuan, transmigrasi dan pemukiman penduduk serta perluasan lahan pertanian. praktek yang biasanya diterapkan adalah dengan melakukan deforestasi yang diikuti dengan pembangunan kanal atau saluran drainase untuk mengeringkan air yang tertahan dilahan gambut. Praktek ini jika tidak dikendalikan dengan baik akan menimbulkan berbagai masalah lingkungan yaitu : terbukanya permukaan tanah terhadap radiasi dan cahaya matahari dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah, menurunnya cadangan Karbon atas-pemukaan dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan Karbon bawah-permukaan, dampak tersebut akhirnya akan mengganggu keseimbangan ekosistem akhirnya menimbulkan Perubahan Iklim Global.

Daftar Pustaka
1. -----. 2004. Beberapa Catatan Tentang Pengelolaan Lahan Gambut Di Kalimantan Tengah: Peluang Pengembangan Teknologi Secara Partisipatif. CARE International Indonesia.
2. Donny Dhonanto. 2008. Tak Surut Harapan di Lahan Gambut. Artikel salam SALAM. (staf pengajar Universitas Mulawarman).
3. Widjaja, Adhi, dkk. 1997. Pengelolaan Tanah dan Air di Lahan Pasang Surut. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
4. Murdiyarso, D., Upik Rosalina, Kurniatun Hairiah, Lili Muslihat, I N.N. Suryadiputra dan Adi Jaya. 2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International– Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
5. Adinugroho, W. C., I N.N. Suryadiputra, Bambang Hero Saharjo dan Labueni Siboro. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
6. Muhammad. 2007. Warta penelitian dan pengembangan pertanian, vol.29 no.2, 2007.


Save Our Earth…








Yuni Lisafitri (E1B050052)
Mahasiswa Fakultas Pertanian UNPAD
Jl.raya jatinangor no.235
yunilisafitri@ymail.com

Unsur Hara Mikro Esensial : Mangan (Mn)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Unsur hara esensial yang dibutuhkan tanaman terdiri dari unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan unsur mikro (Zn, Cu, Mn, Mo, B, Fe, dan Cl). Secara umum semua unsur hara bersumber dari bebatuan induk tanah/mineral-mineral, kecuali unsur N yang berasal dari bahan organik. Mineral dalam bebatuan terlarut, unsur hara terbebas dan tersedia bagi tanaman. Suplai unsur hara dari bahan mineral untuk tanaman secara alami cukup bagi pertumbuhan tanaman secara normal, kecuali pada tanah masam seperti pada Oxisols. Tanah ini memiliki sifat kesuburan rendah terutama tingginya kelarutan unsur-unsur mikro yang dapat menekan pertumbuhan tanaman.
Pertumbuhan, perkembangan dan produksi suatu tanaman ditentukan oleh dua faktor utama yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang sangat menentukan lajunya pertumbuhan, perkembangan da produksi suatu tanaman adalah tersedianya unsur-unsur hara yang cukup di dalam tanah. Diantaranya 105 unsur yang ada di atas permukaan bumi, ternyata baru 16 unsur yang mutlak diperlukan oleh suatu tanaman untuk dapat menyelesaikan siklus hidupnya dengan sempurna. Ke 16 unsur tersebut terdiri dari 9 unsur makro dan 7 unsur mikro. 9 unsur makro dan 7 unsur mikro inilah yang disebut sebagai unsur -unsur esensial. ada tiga kriteria yang harus dipenuhi sehingga suatu unsur dapat disebut sebagai unsur esensial: a. Unsur tersebut diperlukan untuk menyelesaikan satu siklus hidup tanaman secara normal. b. Unsur tersebut memegang peran yang penting dalam proses biokhemis tertentu dalam tubuh tanaman dan peranannya tidak dapat digantikan atau disubtitusi secara keseluruhan oleh unsur lain. c. Peranan dari unsur tersebut dalam proses biokimia tanaman adalah secara langsung dan bukan secara tidak langsung.
Tanah merupakan suatu sistem yang kompleks, berperan sebagai sumber kehidupan tanaman yaitu air, udara dan unsur hara. Tembaga (Cu), seng (Zn), besi (Fe) dan mangan (Mn) merupakan beberapa contoh unsur hara mikro yang esensial bagi tanaman karena walaupun diperlukan dalam jumlah relatif sedikit tetapi sangat besar peranannya dalam metabolisme di dalam tanaman (Cottenie, 1983, Harmsen, 1977).
Pemupukan yang tidak diikuti dengan peningkatan produksi karena hanya memenuhi beberapa unsur hara makro saja, sementara unsur mikro yang lain tidak terpenuhi. Padahal meskipun dibutuhkan dalam jumlah yang lebih sedikit, unsur mikro ini tidak kalah pentingnya dengan unsur hara makro sebagai komponen struktural sel yang terlibat langsung dalam metabolisme sel dan aktivitas enzim.
Ketersediaan unsur-unsur esensial didalam tanaman sangat ditentukan oleh pH. N pada pH 5.5 - 8.5, P pada pH 5.5 - 7.5 sedangkan K pada pH 5.5 - 10 sebaliknya unsur mikro relatif tersedia pada pH rendah. Hal ini disebabkan karena pada pH tersebut semua unsur hara esensial baik makro maupun mikro berbeda dalam keadaan yang siap untuk diserap oleh akar tanaman sehingga dapat menjamin pertumbuhan dan produksi tanaman.

1.2. Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menginventarisasi /mengumpulkan informasi mengenai unsur hara mikro Mn sehingga makalah ini diharapkan menjadi bahan bacaan yang berguna bagi pembaca. Selain itu diharapkan akan meningkatkan perhatian para peneliti terhadap pentingnya ketersediaan unsur hara mikro khususnya Mangan (Mn).

1.3. Identifikasi Masalah
Dalam makalah ini dibahas segala informasi mengenai unsur Mn yang merupakan salah satu unsur mikro esensial bagi tanaman. Mulai dari ketersediaannya dalam tanah, mekanisme penyerapannya, faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaannya, sumber-sumber Mn, gejala kekurangan, fungsi Mn serta dampak dari kelebihan unsur Mn.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Ketersediaan Unsur Hara Mn di dalam Tanah dan Tanaman serta Faktor Yang Mempengaruhinya
Tingkat ketersediaan unsur hara mikro bagi tanaman sangat tergantung pada pH tanah, proses oksidasi reduksi, adanya unsur yang berlebihan dan bahan organik tanah.
Reaksi unsur hara mikro di dalam tanah pada setiap jenis tanah berbeda-beda. Pada tanah yang ber-pH rendah atau bersifat masam, beberapa unsur mikro lebih banyak tersedia terutama dalam bentuk kation diantaranya Fe, Mn, Zn dan Cu. Bila pH tanah naik maka bentuk ion dari kation tersebut berubah menjadi hidroksida/oksida yang tidak tersedia bagi tanaman. Hal yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan tanaman adalah bahwa setiap jenis tanaman berbeda-beda kebutuhannya akan unsur mikro sehingga kelebihan sedikit saja akan bersifat racun bagi tanaman.
Pada umumnya proses oksidasi terjadi bila didukung oleh pH yang tinggi sedangkan pada pH yang rendah/masam akan terjadi reduksi. Mn, Fe, dan Cu dalam kondisi teroksidasi umumnya kurang larut pada pH yang biasa dijumpai dalam tanah dibandingkan keadaan tereduksi pada tanah-tanah yang sangat masam (reduktif).
Mangan paling banyak diserap dalam bentuk ion mangan. Keberadaan unsur mangan biasanya bersama-sama dengan unsur besi dan unsur besi biasanya terdapat di air tanah. Air tanah umumnya mempunyai konsentrasi karbon dioksida yang tinggi hasil penguraian kembali zat-zat organik dalam tanah oleh aktivitas mikroorganisme, serta mempunyai konsentrasi oksigen terlarut yang relatif rendah, menyebabkan kondisi anaerobik. Kondisi ini menyebabkan konsentrasi besi dan mangan bentuk mineral tidak larut (Fe3+ dan Mn4+) tereduksi menjadi besi dan mangan yang larut dalam bentuk ion bervalensi dua (Fe2+ dan Mn2+).
Meskipun besi dan mangan pada umumnya terdapat dalam bentuk terlarut bersenyawa dengan bikarbonat dan sulfat, juga ditemukan kedua unsur tersebut bersenyawa dengan hidroden sulfida (H2S).
Selain itu besi dan mangan ditemukan pula pada air tanah yang mengandung asam yang berasal dari humus yang mengalami penguraian dan dari tanaman atau tumbuhan yang bereaksi dengan unsur besi untuk membentuk ikatan kompleks organik. konsentrasi mangan pada umumnya kurang dan 1,0 mg/l.
Pada air permukaan yang belum diolah ditemukan konsentrasi mangan rata-rata lebih dari 1 mg/l, walaupun demikian dalam keadaan tertentu unsur mangan dapat timbul dalam konsentrasi besar pada suatu reservoir/tandon atau sungai pada kedalaman dan saat tertentu. Hal ini terjadi akibat adanya aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan dan mereduksi bahan organik dan mangan (IV) menjadi mangan (II) pada kondisi hypolimnion (kondisi adanya cahaya matahari).
Mangan terdapat dalam bentuk kompleks dengan bikarbonat, mineral dan organik. Unsur mangan pada air permukaan berupa ion bervalensi empat dalam bentuk organik kompleks.
Ketersediaan dalam tanah dan kebutuhan normal tanaman akan unsur mikro
Unsur Hara Ketersediaan dalam tanah (ppm) Kebutuhan Normal Tanaman (ppm)
Boron

Tembaga
Besi
Mangan
Molibdenium
Seng (B)

(Cu)
(Fe)
(Mn)
(Mo)
(Zn) 0.1 - 5

0.1 - 4
2.0 - 150
1.0 - 100
0.05 - 0.5
1.0 - 20 6 - 18 (monokotil)
20 - 60 (dikotil)
5 - 20
50 - 250
20 - 500
0.2 - 1.0
25 - 125

2.2. Serapan Mn oleh Tanaman
Mangan diambil/diserap oleh tanaman dalam bentuk: Mn++ dan Seperti hara mikro lainnya, Mn dianggap dapat diserap dalam bentuk kompleks khelat. Mn dalam tanaman tidak dapat bergerak atau beralih tempat dari organ yang satu ke organ lain yang membutuhkan.
2.3. Peranan Unsur hara Mangan (Mn)
Mangan merupakan unsur mikro yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Mangan sangat berperan dalam sintesa klorofil selain itu berperan sebagai koenzim, sebagai aktivator beberapa enzim respirasi, dalam reaksi metabolisme nitrogen dan fotosintesis. Mangan juga diperlukan untuk mengaktifkan nitrat reduktase sehingga tunbuhan yang mengalami kekurangan mangan memerlukan sumber N dalam bentuk NH4+. Peranan mangan dalam fotosintesis berkaitan dengan pelepasan elektron dari air dalam pemecahannyamenjadi hidrogen dan oksigen.
Fungsi unsur hara Mangan (Mn) bagi tanaman ialah:
a. Diperlukan oleh tanaman untuk pembentukan protein dan vitamin terutama vitamin C
b. Berperan penting dalam mempertahankan kondisi hijau daun pada daun yang tua
c. Berperan sebagai enzim feroksidase dan sebagai aktifator macam-macam enzim
d. Berperan sebagai komponen penting untuk lancarnya proses asimilasi
Mn diperlukan dalam kultur kotiledon selada untuk memacu pertumbuhan jumlah pucuk yang dihasilkan. Mn dalam level yang tinggi dapat mengsubstitusikan Mo dalam kultur akar tomat. Mn dapat menggantikan fungsi Mg dalam beberapa sistem enzym tertentu seperti yang dibuktikan oleh Hewith pada tahun 1948.

2.4. Gejala Kekurangan/Defisiensi Unsur Hara Mn
Defisiensi unsur hara, atau kata lain kekurangan unsur hara. bisa menyebabkan pertumbuhan tanaman yg tidak normal dapat disebabkan oleh adanya defisiensi satu atau lebih unsur hara, gangguan dapat berupa gejala visual yang spesifik.
Mn merupakan penyusun ribosom dan juga mengaktifkan polimerase, sintesis protein, karbohidrat. Berperan sebagai activator bagi sejumlah enzim utama dalam siklus krebs, dibutuhkan untuk fungsi fotosintetik yang normal dalam kloroplas, ada indikasi dibutuhkan dalam sintesis klorofil. Defisiensi unsure Mn antara lain : pada tanaman berdaun lebar, interveinal chlorosis pada daun muda mirip kekahatan Fe tapi lebih banyak menyebar sampai ke daun yang lebih tua, pada serealia bercak-bercak warna keabu-abuan sampai kecoklatan dan garis-garis pada bagian tengah dan pangkal daun muda, split seed pada tanaman lupin.
Identifikasi Gejala defisiensi mangan bersifat relatif, seringkali defisiensi satu unsur hara bersamaan dengan kelebihan unsur hara lainnya. Di lapangan tidak mudah membedakan gejala-gejala defisiensi. Tidak jarang gangguan hama dan penyakit menyerupai gejala defisiensi unsur hara mikro. Gejala dapat terjadi karena berbagai macam sebab.
Gejala dari defisiensi mangan memperlihatkan bintik nekrotik pada daun. Mobilitas dari mangan adalah kompleks dan tergantung pada spesies dan umur tumbuhan sehingga awal gejalanya dapat terlihat pada daun muda atau daun yang lebih tua.. Kekurangan mangan ditandai dengan menguningnya bagian daun diantara tulang-tulang daun. Sedangkan tulang daun itu sendiir tetap berwarna
hijau. Bagian yang menguning tersebut akan mati dan meninggalkan
lubang-lubang berbentuk memanjang. Kekurangan Mn sering terjadi sebagai
akibat pemupukan Fe berlebihan sehingga menyebabkan Mn menjadi tidak
tersedia.
Gambar 1. Gejala Kekuranga Unsur Mn

Pada tanaman melon, Gejala yang dapat terlihat adalah ditandai dengan adanya bintik-bintik klorosis pada permukaan daun lebih tua yang menghadap tangkai.

2.5. Sumber dan Jenis Pupuk Yang Mengandung Mn
Mangan terdapat dalam tanah berbentuk senyawa oksida, karbonat dan silikat dengan nama pyrolusit (MnO2), manganit (MnO(OH)), rhodochrosit (MnCO3) dan rhodoinit (MnSiO3). Mn umumnya terdapat dalam batuan primer, terutama dalam bahan ferro magnesium. Mn dilepaskan dari batuan karena proses pelapukan batuan. Hasil pelapukan batuan adalah mineral sekunder terutama pyrolusit (MnO2) dan manganit (MnO(OH)). Kadar Mn dalam tanah berkisar antara 20 sampai 3000 ppm. Bentuk Mn dapat berupa kation Mn++ atau mangan oksida, baik bervalensi dua maupun valensi empat. Penggenangan dan pengeringan yang berarti reduksi dan oksidasi pada tanah berpengaruh terhadap valensi Mn.
Sumber-sumber Mangan adalah:
a. Batuan mineral Pyroluste Mn O2
b. Batuan mineral Rhodonite Mn SiO3
c. Batuan mineral Rhodochrosit Mn CO3
d. Sisa-sisa tanaman dan lain-lain bahan organis
Pemupukan Mn dapat dilakukan melalui daun dan tanah. Jika melalui daun (Foliar application) dilakukan dengan menyemprot larutan pupuk ke permukaan bawah daun, namun dalam aplikasi melalui daun ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu : konsentrasi Mn dalam larutan bahan, lamanya kontak dengan daun dan temperatur. Jika melalui tanah, dengan memberikan Mn dalam bentuk MnO2. biasanya pemupukan Mn pada tanah sebanyak 5-40 kgMn/ha.
Jenis pupuk Daun yang mengandung unsur hara mikro (Mn) yaitu pupuk daun. Jenis-jenis pupuk tersebut antara lain :
1. Pupuk Organik (di pasaran)
- hi grow protect, Pupuk Lengkap Cair yang mengandung unsur hara essensial baik unsur hara makro (N,P, K, Ca, Mg, S) maupun Mikro (Zn, Fe, Mn, Cu, B, Mo, Cl) yang wajib dibutuhkan oleh tanaman apapun. BioIntra, MultiTonik, Bayfolan, dll
- Pupuk Super Bionik, merupakan pupuk organik cair alami berkualitas tinggi dengan hasil ekstrasi berbagai limbah organik (limbah ternak, limbah tanaman dan limbah alam lainnya) yang diproses berdasar teknologi berwawasan lingkungan (bioteknologi). Super Bionik adalah terobosan teknologi unggulan yg ramah lingkungan untuk meningkatkan dan mempertahankan produktivitas. Mengandng hara makro maupun mikro makro (N, P, K, CA, Mg, S, B, Fe, Cu, Cl, Mn, Zn, dan Mo) dalam bentuk tersedia (dpt diserap tanaman) dalam komposisi yamg optimal untuk memcu pertumbuhan vegetatif maupun generatif. Sehingga aplikasi interval waktu relatif pendek dan kontinyu dapat mengurangi pemakaian pupk anorgonaik hingga 50% atau lebih.
- Pupuk Majemuk Lengkap Tablet (Pmlt), merupakan pupuk majemuk yang mengandung hara makro (N,P2O5, K2O, MgO, CaO, S) dan mikro (Fe, Mn, B, Cu dan Zn) berbentuk tablet dengan formula spesifik lokasi atas dasar kesuburan tanah dan kebutuhan tanaman. Selain mengandung hara lengkap, PMLT-Suburin bersifat lepas hara lambat dengan durasi kurang lebih 12 bulan.
- dll
2. Pupuk AnOrganik, contohnya : Gandasil B dan D, dll.

2.6. Unsur Mangan dengan Konsentrasi Tinggi
Dalam kondisi aerob mangan dalam perairan terdapat dalam bentuk MnO2 dan pada dasar perairan tereduksi menjadi Mn2+ atau dalam air yang kekurangan oksigen (DO rendah). Oleh karena itu pemakaian air berasal dari dasar suatu sumber air, sering ditemukan mangan dalam konsentrasi tinggi.
Pada pH agak tinggi dan kondisi aerob terbentuk mangan yang tidak larut seperti, MnO2, Mn3O4, atau MnCO3 meskipun oksidasi dari Mn2+ itu berjalan relative lambat. Secara visual dalam air yang banyak mengandung mangan berwarna kehitam – hitaman.
Jika konsentrasi besi dan mangan di dalam air relatif besar, akan memberikan dampak sebagai berikut :
Menimbulkan penyumbatan pada pipa disebabkan secara langsung oleh deposit (tubercule) yang disebabkan oleh endapan besi :
1. Secara tidak langsung, disebabkan oleh kumpulan bakteri besi yang hidup di dalam pipa, karena air yang mengandung besi, disukai oleh bakteri besi.
2. Selain itu kumpulan bakteri ini dapat meninggikan gaya gesek (losses) yang juga berakibat meningkatnya kebutuhan energi. Selain itu pula apabila bakteri tersebut mengalami degradasi dapat menyebabkan bau dan rasa tidak enak pada air.
3. Besi dan mangan sendiri dalam konsentrasi yang lebih besar dan beberapa mg/L, akan memberikan suatu rasa pada air yang menggambarkan rasa logam, atau rasa obat.
Meninggalkan noda pada bak-bak kamar mandi dan peralatan lainnya (noda kecoklatan disebabkan oleh besi dan kehitaman oleh mangan). Pada ion exchanger endapan besi dan mangan yang terbentuk, seringkali mengakibatkan penyumbatan atau menyelubungi media pertukaran ion (resin), yang mengakibatkan hilangnya kapasitas pertukaran ion. Menyebabkan keluhan pada konsumen (seperti kasus “red water”) bila endapan besi dan mangan yang terakumulasi di dalam pipa, tersuspensi kembali disebabkan oleh adanya kenaikan debit atau kenaikan tekanan di dalam pipa/system distribusi, sehingga akan terbawa ke konsumen.
Ada beberapa prinsip proses penghilangan besi dan mangan yaitu : pertukaran ion (ion exchange), proses secara biologis, tetapi yang umum digunakan pada sistem penyediaan air adalah proses oksidasi secara kimiawi, yaitu menaikkan tingkat oksidasi oleh suatu oksidator dengan tujuan merubah bentuk besi dan mangan terlarut menjadi bentuk besi dan mangan tidak larut (endapan). Proses ini dilanjutkan dengan pemisahan endapan/suspensi/dispersi yang terbentuk menggunakan proses sedimentasi dan atau filtrasi. Untuk meningkatkan efisiensi pemisahan endapan ini, bila perlu menggunakan proses koagulasi-flokulasi dilanjutkan dengan sedimentasi dan filtrasi.
Besi dan mangan dapat diendapkan sebagai senyawa dengan karbonat pada air yang mengandung karbonat (alkalinitas), dengan penambahan kapur atau soda. Pengendapan ini berlangsung pada kondisi anaerobik. Kelarutan Fe (II) dan Mn(II) ditentukan oleh konsentrasi total karbonik. Pada kondisi tersebut, Fe (II) dan Mn (II) karbonat dapat diharapkan mengendap seluruhnya pada pH > 8 dan 8,5. Pengendapan Fe (II) hidroksida dan Mn (II) hidroksida pada pH ± 11. Campuran dua macam endapan tersebut, terbentuk dalam proses Kapur – Soda. Besi dan mangan akan lebih baik bila diendapkan dengan jalan oksidasi oleh oksidator seperti O2 ; O3 ; Klor/senyawa klor ; KMnO4, karena kelarutan dari bentuk Fe (III) trihidroksida dan Mn (IV) dioksida adalah lebih rendah dibandingkan dengan senyawa Fe (II) dan Mn (II) karbonat. Kecepatan oksidasi Fe (II) oleh oksigen sangat rendah dalam kondisi nilai pH rendah. Dalam hal ini pH perlu dinaikkan dengan mengurangi konsentrasi CO2 atau dengan penambahan alkali (kapur).
Kecepatan oksidasi Mn (II) relatif lambat pada pH < 9, pengaruh katalisator dari endapan Mn (IV) sangat diperlukan. Morgan menunjukkan bahwa efek utama dari MnO2 mengadsorpsi Mn (II), dengan cara demikian memberikan pengaruh dalam penghilangan mangan selama proses filtrasi. Kemudian Mn (IV) yang mengadsorpsi, melanjutkan oksidasinya secara perlahan-lahan.
Keberadaan asam humus akan memperlambat oksidasi besi. Penyerapan atas Fe (II) dan Mn (II) dilaporkan memegang peranan dalam penghilangan besi dan mangan dari air. Endapan Fe (III) hidroksida dan Mn (IV) dioksida, keduanya mempunyai kapasitas adsorpsi (penyerapan) yang tinggi. Penambahan MgO pada air yang mempunyai pH rendah dapat menaikan kecepatan oksidasi Fe (II) tanpa menaikan pH yang berarti bagi air yang dihasilkan (air hasil olahan).
Pembentukan besi (III) dan mangan (IV) dipengaruhi oleh pH, pada pH antara 6,9 – 7,2. Reaksi pembentukan Fe (III) dapat terjadi dengan cepat, sedangkan reaksi pembentukan Mn (IV) akan lambat bila pH dibawah 9,5. Penggunaan klor sebagai oksidator biasanya untuk mengolah air dengan kandungan besi (II) dan mangan (II) kurang dari 2 mg/l. Pembentukan Fe (III) dan Mn (IV) tergantung pada pH. Pada pH 7,5 klor berbentuk 50 % asam hipoklorit (HOCI) dan 50 % ion hipoklorit (OCI)-. Reaksi oksidasi pada besi (II) lebih cepat dibanding dengan Mangan (II), batas pH untuk pembentukan mangan (IV) adalah 5 – 7 . Pada reaksi terhadap oksidator KMnO4 maka akan terjadi reaksi sebagai berikut : Mn2+ + 2ClO2 + 2H2O ———–> MnO2 + 2O2 + 2Cl− + 4H+
BAB III
KESIMPULAN


Selain unsur hara makro (N, P, K) unsur lain yang dibutuhkan tanaman tidak itu saja meliankan ada 16 macam unsur yang terbagi atas unsur hara makro (C,H,O,N,P,K.Ca,Mg dan S) dan unsur mikro (Fe, Mn, Mo, B, CU,Zn, dan Cl).
Bila penerapan pemupukan yang tidak diikuti dengan peningkatan produksi karena hanya memenuhi beberapa unsur hara makro saja, sementara unsur mikro yang lain tidak terpenuhi. Padahal meskipun dibutuhkan dalam jumlah yang lebih sedikit, unsur mikro ini tidak kalah pentingnya dengan unsur hara makro sebagai komponen struktural sel yang terlibat langsung dalam metabolisme sel dan aktivitas enzim.
Unsur Mangan merupakan unsur mikro yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Mangan sangat berperan dalam sintesa klorofil selain itu berperan sebagai koenzim.
Mangan berperan serta sebagai aktivator beberapa enzim respirasi, dalam reaksi metabolisme nitrogen dan fotosintesis. Mangan juga diperlukan untuk mengaktifkan nitrat reduktase sehingga tunbuhan yang mengalami kekurangan mangan memerlukan sumber N dalam bentuk NH4+. Peranan mangan dalam fotosintesis berkaitan dengan pelepasan elektron dari air dalam pemecahannyamenjadi hidrogen dan oksigen.
Sumber Mangan diantaranya ada yang berasal dari pelapukan batuan, melalui pemupukan, dan pelapukan bahan organik.






DAFTAR PUSTAKA

Cottenie, A., 1983. Trace Elements In Agriculture and In The Environment. Laboratory of Analytical and Agrochemistry, Faculty of Agriculture, State University of Ghent, Belgium.

Harmsen, K., 1977. Behavior of Heavy Metals in Soils. Agricultural research reports. Centre for Agricultural Publishing and Documentation, Wageningen.

Judi Ginta. 2005. Unsur Hara Mikro Yang Dibutuhkan Tanaman . Diadses pada web www.nasih.staff.ugm.ac.id/pnt3404/4%209417.doc. (Diakses pada tgl. 18 November 2008).

Karomatul. 2008. Fisiologi Tumbuhan. Diakses pada web www.multiply.com (pada tgl. 18 November 2008).

Lahudin. 2007. Aspek Unsur Hara Mikro Dalam Kesuburan Tanah. Universitas Sumatera Utara. Medan.

NN. 2008. Besi (Fe) dan Mangan (Mn) dalam Eustaria. Diakses pada web http://www.idwordspace/tag/wawasan (pada tgl. 18 November 2008).

NN. 1986. Mengenali gejala Keracunan Mn dan Defisiensi Mg pada tanaman Melon di tanah asam. Sumber Horticulture Science 21.

NN. Senyawa mikro dan kultur jaringan. Diakses pada web http://e-learning.unram.ac.id (pada tgl. 18 November 2008).

Suyono, D. Aisyah. 2008. Pupuk dan Pemupukan. Unpad Press : Bandung.

Yudhi. 2007. Jangan Sepelekan Unsur Hara Mikro pada Tanaman Anda. Diakses pada web http://pusri.wordpress.com/2007/10/01/gejala-kekurangan-unsur-hara-bagi-tanaman (pada tgl. 18 November 2008).

SUMBERDAYA TANAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pedosfer atau tanah adalah lapisan kulit bumi yang tipis terletak di bagian paling atas permukaan bumi. Tanah merupakan suatu gejala alam permukaan daratan yang membentuk suatu zone dan biasa disebut pedosfer, tersusun atas bahan lepas berupa pecahan dan lapukan batuan bercampur dengan bahan organik (Notohadiprawiro, 1993). Dokuchaiev (1870) dalam E-dukasi.net mengatakan bahwa tanah adalah suatu benda fisis yang berdimensi tiga terdiri dari panjang, lebar, dan dalam yang merupakan bagian paling atas dari kulit bumi dan mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan bahan yang ada di bawahnya sebagai hasil kerja interaksi antara iklim, kegiatan oganisme, bahan induk dan relief selama waktu tertentu.
Seperti definisi diatas tanah tercipta dari hasil interaksi antara iklim, kegiatan oganisme, bahan induk dan relief seiring dari berjalannya waktu. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada lima faktor pembentuk tanah yaitu iklim, organisme, bahan induk, relief (topografi) dan waktu. Iklim, organisme dan waktu adalah faktor pembentuk tanah yang aktif, sedangkan bahan induk dan relief merupakan penyedia bahan dan tempat dalam proses pembentukan tanah.
Sumberdaya tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah pemukiman, jalan untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sitorus (2001) mendefinsikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Oleh karena itu sumberdaya lahan dapat dikatakan sebagai ekosistem karena adanya hubungan yang dinamis antara organisme yang ada di atas lahan tersebut dengan lingkungannya (Mather, 1986).
Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, sumberdaya lahan yang berkualitas tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya ketahanan pangan, tingkat dan intensitas pencemaran yang berat dan kerusakan lingkungan lainnya. Dengan demikian, secara keseluruhan aktifitas kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung yang menurun. Di lain pihak, 10 permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita (Rustiadi, 2001).
Pengelolaan sumber daya tanah dipandang penting dan didasari oleh pertimbangan bahwa proses-proses pembangunan yang akan terjadi di Indonesia masih akan ditumpukan pada potensi sumber daya tanah. Oleh karenanya, sumber daya tanah dengan segala komponen yang ada di dalamnya termasuk air, biota, dan lainnya harus dikelola secara baik. Empat sub-agenda dirumuskan dalam hal – hal berikut ini : (1) penatagunaan sumberdaya tanah, (2) pengelolaan hutan, (3) pengembangan pertanian dan pedesaan, dan (4) pengelolaan sumberdaya air.
Empat hal penting perlu dicatat dalam hal ini. Pertama adalah pemikiran bahwa oleh karena krisis ekonomi yang berkepanjangan serta runtuhnya unit-unit industri yang mengadalkan bahan baku impor, proses-proses eksploitasi sumber daya tanah di Indonesia akan semakin meningkat. Keadaan ini perlu mendapat perhatian yang serius bagi mereka yang akan terlibat langsung dalam usaha-usaha pengelolaan lingkungan. Catatan kedua yang penting adalah bahwa berbagai upaya pengelolaan sumberdaya tanah harus dilakukan secara terpadu. Ini berarti bahwa pengelolaan empat aspek di atas (sumber daya tanah, hutan, pertanian, dan sumber daya air) tidaklah boleh dilakukan secara parsial oleh karena keterkaitan yang erat di antaranya.


1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi tentang sumberdaya tanah agar dapat mempelajari dan memahami materi sumberdaya tanah sehingga mengetahui faktor-faktor pembentukan tanah, perkembangan klasifikasi tanah di Indonesia dan penyebarannya di Indonesia serta jenis tanah utama untuk pertanian.






















BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

2.1. Luas Wilayah Republik Indonesia
Republik Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara, yang terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6°08’LU - 11°15'LS dan dari 94°45'BB - 141°61'BT. Karena letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, sekitar 6000 di antaranya tidak berpenghuni, yang menyebar disekitar khatulistiwa, yang memberikan cuaca tropis.
Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 2,02 juta km² dan luas perairannya 7,9 juta km² (termasuk ZEE). Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana setengah populasi Indonesia hidup. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa dengan luas 132.107 km², Sumatra dengan luas 473.606 km², Kalimantan dengan luas 539.460 km², Sulawesi dengan luas 189.216 km², dan Papua dengan luas 421.981 km². Batas wilayah Indonesia searah penjuru mata angin, yaitu:
Utara : Negara Malaysia, Singapura, Filipina, dan Laut China Selatan
Selatan : Negara Australia, Timor Leste, dan Samudera Hindia
Barat : Samudera Hindia
Timur : Negara Papua Nugini, Timor Leste, dan Samudera Pasifik

2.2. Faktor-faktor Pembentuk Tanah
Kebanyakan tanah terbentuk dari pelapukan batuan dan mineral (kuarsa, feldspar, mika, hornblende, kalsit, dan gipsum), meskipun ada yang berasal dari tumbuhan (gambut/peat; Histosol). Tanah adalah material yang tidak padat yang terletak di permukaan bumi, sebagai media untuk menumbuhkan tanaman (SSSA, Glossary of Soil Science Term). Jenny, H (1941) dalam buku Factors of Soil Formation : tanah terbentuk dari interaksi banyak faktor, dan yang terpenting adalah : bahan induk (parent material); iklim (climate), organisme (organism)’; topografi (Relief); waktu (time). Faktor-faktor tersebut dapat dirumuskan dengan rumus sebagai berikut:
T=f (i, o, b, t, w)
Keterangan :
T = tanah b = bahan induk
f = faktor t = topografi
i = iklim w = waktu
o = organisme

gambar. Faktor-faktor pembentuk tanah















Faktor-faktor pembentuk tanah tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
2.2.1. Iklim
Iklim adalah rata-rata cuaca dalam periode yang panjang. Sedangkan unsur-unsur iklim yang mempengaruhi proses pembentukan tanah terutama ada dua, yaitu suhu dan curah hujan.

a. Suhu/Temperatur
Suhu akan berpengaruh terhadap proses pelapukan bahan induk. Apabila suhu tinggi, maka proses pelapukan akan berlangsung cepat sehingga pembentukan tanah akan cepat pula.
b. Curah Hujan
Curah hujan merupakan parameter iklim terpenting untuk pertanian daerah tripika, baik dalam keadaan berlebih ataupun kekurangan. Dengan suhu yang dapat dikatakan nisbi seragam, sebaran curah hujan merupakan patokan utama yang digunakan untuk membuat penggolongan iklim tropika.
Curah hujan berkaitan erat dengan kelembaban tanah. Di dalam taksonomi tanah (USDA) dikenal empat pola kelengasan tanah yang ada di daerah tropika, termasuk Indonesia diantaranya : Udic, Ustic, Aridic dan Acuic.
Curah hujan akan berpengaruh terhadap kekuatan erosi dan pencucian tanah, sedangkan pencucian tanah yang cepat menyebabkan tanah menjadi asam (pH tanah menjadi rendah).
2.2.2. Relief
Relief adalah bentuk permukaan lahan yang ditentukan oleh perbedaan tinggi (m) dan kemiringan lereng (%).
Relief mempengaruhi proses pembentukan dan perkembangan tanah oleh sebab itu relief juga mempengaruhi difat tubuh tanah, hal itu disebabkan oleh :
a. Mempengaruhi jumlah air hujan yang meresap atau ditahan oleh masa tanah.
b. Mempengaruhi dalamnya air tanah
c. Mempengaruhi besarnya erosi
d. Mengarahkan gerakan air berikut bahan terangkut atau terlarut di dalamnya dari suatu tempat ke tempat lain.
Keadaan relief suatu daerah akan mempengaruhi:
a. Tebal atau tipisnya lapisan tanah
Daerah yang memiliki topografi miring dan berbukit lapisan tanahnya lebih tipis karena tererosi, sedangkan daerah yang datar lapisan tanahnya tebal karena terjadi sedimentasi.
b. Sistem drainase/pengaliran
Daerah yang drainasenya jelek seperti sering tergenang menyebabkan tanahnya menjadi asam
2.2.3. Bahan Induk
Bahan induk terdiri dari batuan vulkanik, batuan beku, batuan sedimen (endapan), dan batuan metamorf juga bahan organik. Batuan induk itu akan hancur menjadi bahan induk, kemudian akan mengalami pelapukan dan menjadi tanah. Tanah yang terdapat di permukaan bumi sebagian memperlihatkan sifat (terutama sifat kimia) yang sama dengan bahan induknya. Bahan induknya masih terlihat misalnya tanah berstuktur pasir berasal dari bahan induk yang kandungan pasirnya tinggi. Susunan kimia dan mineral bahan induk akan mempengaruhi intensitas tingkat pelapukan dan vegetasi diatasnya. Bahan induk yang banyak mengandung unsur Ca akan membentuk tanah dengan kadar ion Ca yang banyak pula sehingga dapat menghindari pencucian asam silikat dan sebagian lagi dapat membentuk tanah yang berwarna kelabu. Sebaliknya bahan induk yang kurang kandungan kapurnya membentuk tanah yang warnanya lebih merah.
Menurut Jenny (1941) Bahan Induk adalah keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Jenis-jenis Bahan Induk: batuan beku, sedimen, metamorf dan vulkanik. Batuan Beku: Adalah bebatuan yang terbentuk dari proses pembekuan (solidifikasi) magma cair. Batuan Sedimen: Adalah bebatuan yang terbentuk dari proses pemadatan (konsolidasi) endapan-endapan partikel yang terbawa oleh angin atau air di permukaan bumi. Batuan Metamorf: Adalah batuan beku atau batuan sedimen yang telah mengalami perubahan bentuk (transformasi) akibat adanya pengaruh perubahan suhu dan tekanan yang sangat tinggi.
Batuan induk tersebut akan hancur menjadi bahan induk, kemudian akan mengalami pelapukan dan menjadi tanah.
Nagan organik merupakan sisa-sisa jaringan tumbuhan alami, pada berbagai tingkat pelapukan. Biasanya terbentuk di cekungan atau depresi alam, dengan drainase sangat terhambat dan sering kali tergenang air. Umumnya terdapat si daerah rendah (rawa), baik pasang surut atau rawa lebak, dan juga pada kubah gambut. Karena seluruhnya atau sebagian besar terdiri dari senyawa organik maka tanah seperti ini disebut tanah organik (peat soil).
Ada dua proses pelapukan tanah diantaranya sebagai berikut :
1.Proses Pelapukan Fisik
•Proses mekanik yang menyebabkan bebatuan masif pecah –hancur
terfragmentasi menjadi partikel-partikel kecil tanpa ada perubahan
kimiawi.
•Terjadi karena:
-> Perubahan suhu yang drastis (sgt dingin di Kutub
dan sangat panas di Padang Pasir)
-> Hantaman air hujan
-> Penetrasi Akar
-> Aktivitas Makhluk Hidup lainnya
2.Proses Pelapukan Kimia
•Proses Pelapukan yang diikuti terjadinya perubahan sifat kimiawi Meliputi:
1.Pelarutan (solubilitasi)
2.Hidrasi
3.Hidrolisis
4.Oksidasi
5. Reduksi
6. Karbonatasi
7. Asidifikasi (pengasaman)
Mempengaruhi Proses Pembentukan Tanah dengan empat cara :
1. Jumlah air hujan yg dpt meresap atau disimpan oleh massa tanah
2. Kedalaman air tanah
3. Besarnya erosi yang dapat terjadi
4. Arah pergerakan air yg membawa bhn-bhn terlarut dari tempat yang
tinggi ke tempat yang rendah.
Perbedaan Sifat-sifat Tanah yang hanya disebabkan oleh Satu Faktor Pembentuk Tanah dikenal sebagai:
1.Klimatosekuen: Perbedaan sifat tanah yang disebabkan hanya pengaruh iklim
2.Biosekuen: Perbedaan sifat tanah yang disebabkan hanya pengaruh organisme
3.Toposekuen: Perbedaan sifat tanah yang disebabkan hanya oleh perbedaantopografi
4.Lithosekuen: Perbedaan sifat tanah yang disebabkan hanya oleh perbedaan Jenis bahan induk
5.Khronosekuen: Perbedaan sifat tanah yang disebabkan hanya oleh perbedaan Faktor umur.

2.3. Penyebaran Tanah di Indonesia
2.3.1. Landform
Bentukan alam di permukaan bumi terdiri dari berbagai macam dengan keadaan dan ciri serta sifat yang berbeda-beda, tergantung dari proses pembentukan dan evolusinya. Bentukan-bentukan alam tersebut, yang selanjutnya dinamakan landform, sangat erat kaitannya dengan keadaan dan sifat-sifat geologi, litologi, iklim, jasad hidup/biosfer, dan relief/topografi, serta menentukan keadaan tanah di atasnya. Dalam kegiatan survei dan pemetaan sumber daya lahan / tanah peranan landform sangat besar, karena itu diperlukan pengenalan yang baik tentang landform ini serta klasifikasinya.
Landform adalah bentukan alam di permukaan bumi yang terjadi karena proses pembentukan tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu pula. Misalnya teras sungai yang terbentuk karena proses sedimentasi oleh aktivitas sungai dan telah berkembang sampai saat ini (evolusi) merupakan suatu landform “landform teras sungai”. Atau lanform adalah bentuk permukaan bumi yang terbentuk atau mengalami perubahan akibat proses geomorfologi.
Tanah dapat terbentuk dari pelapukan batuan padat (in situ) atau merupakan deposit dari material/partikel yang terbawa oleh air, angin, glasier (es), atau gravitasi. Apabila material yang terbawa tersebut masuk ke lahan (land), maka disebut landform. Penamaan landform berdasar pada cara transport maupun bentuk akhir. Contoh : Alluvial berasal dari aliran air; morain berasal dari gerakan es dan membeku; dunes berasal dari gerakan angin thd pasir; colluvium berasal dari gravitasi. Di Indonesia bentukan lanform didominasi oleh lanform tektonik/sstruktural, volkan, aluvial, gambut, marin, kurst dan fluviomarin.
2.3.2. Perkembangan Klasifikasi Tanah di Indonesia
Klasifikasi tanah mula-mula di buat sangat sederhana tetapi dengan meningkatnya pengetahuan manusia tentang tanah maka klasifikasi tanah terus diperbaiki hingga menjadi lebih ilmiah dan teratur. Klasifikasi baik dibidang tanah ataupun di bidang lain mencerminkan sejauh mana pengetahuan manusia terhadap bidang tersebut.
Kegiatan penelitian tanah di Indonesia mulai meningkat semenjak berdirinya PPT (Pusat Penelitian Tanah) pada tahun 1905. Sistem klasifikasi tanah yang digunakan oleh Mohr (1910) berdasar atas prinsip genesa, dan tanah-tanah diberi nama atas dasar warna. Pada tahun 1916 Mohr mengemukakan klasifikasi tanah didasarkan atas bahan induk dan tipe pelapukan. Tata nama yang digunakan masih menggunakan warna sebagai dasar. Arrhenius (1928) membuat klasifikasi tanah –tanah tebu berdasar atas azas single value, yaitu berdasar atas satu sifat tanah.Tollenaar (1932) mengklasifikasikan tanah-tanah tembakau di Jawa Tengah berdasar atas kombinasi prinsip genesis dan single value. Druif (1936) menggunakan klasifikasi tanah untuk tanah-tanah di Sumatera Utara berdasar atas sifat-sifat petrografi dan mineralogi.
Uraian di atas menunjukkan bahwa klasifikasi tanah pada saat itu adalah sangat teknikal yaitu disesuaikan dengan tujuan penggunaannya. Dalam hal ini tidak ada sistem tertentu yang dianut, melainkan setiap li menggunakan sistem sendiri sesuai dengan penggunaan dan keadaan tanah yang diteliti. Menurut Supraptohardjo (1961), sebelum tahun 1950 sistem klasifikasi tanah dengan multiple category belum dikembangkan di Indonesia. Walaupun demikian pada masa itu telah dikenal pula dua kategori dalam klasifikasi tanah Indonesia yaitu bodemtype dan grondsoort.Bodemtype ditentukan oleh bahan induk, pelapukan, dan keadaan bahan organik atau air. Sedangkan gronsoort adalah perbedaan bodemtype lebih lanjut atas dasar warna, umur, dan petrografi. Dasar klasifikasi tersebut tidak disertai dengan ciri-ciri pembeda yang didasarkan atas ciri-ciri profil sehingga penggolongan tanah tidak sistematik. Tata nama tidak sesuai dengan pengertian yang dianut di luar negeri dan cara-cara pencirian kurang tertib, sehingga menyulitkan korelasi dengan sistem klasifikasi tanah di luar indonesia
Penggunaan kedua kategori tersebut untuk survai tanah tidak jelas. Grondsoort digunakan sebagai satuan tanah berbagai peta yang skalanya berbeda misalnya untuk peta tanah Yogyakarta skala 1 : 100.000, peta tanah Sumatra Selatan skala 1 : 500.000, dan peta tanah Jawa Tengan bagian timur skala 1 : 250.000, tidak diketahui apakah Grondsoort masih dapat digunakan untuk peta yang lebih kecil.
Sejak tahun 1955 Pusat Penelitian Tanah Bogor menggunakan sistem klasifikasi tanah yang didasarkan pada sistem Amerika Serikat yang dikemukakan oleh Thorp dan Smith (1949) yang merupakan perbaikan dari sistem Baldwin Et al (1938). Sistem tersebut digunakan di indonesia dengan beberapa modifikasi yang kemuadian dikenal dengan sistem Dudal-Supraptoharjo (1957). Sistem tersebut dijelaskan lebih terperinci oleh Supraptoharjo (1961). Salah satu modifikasi yang di lakukan adalah tidak menggunakan pembagian kategori order kedalam zonal, intrazonal, dan azonal kaena tidak memungkinkan penggolongan berbagai tanah di indonesia. Walaupun demikian dalam sistem ini jga digunakan enam kategori yaitu golongan (order), kumpulan (sub order) jenis (great grup), macam (supgroup), rupa (famili) dan seri.
Dengan dikenalnya sistem klasifikasi tanah baru dari FAO/UNESCO 1974 dan Soil Taxonomy (USDA 1975) maka sistem Dudal-Supraptoharjo (1957) tersebut telah mengalami pebaikan pula terutama dalam tingkat jenis dan macam (PPT,1978,1982) perbaikan meliputi perubahan terhadap definisi serta penambahan jenis tanah maupun tanah baru.
Disamping sistem pusat penelitian tanah, pada saat ini indonesia banyak digunakan pula sistem FAO/UNESCO 1974 dan Soil Taxonomy (USDA 1975) untuk survei tanah diberbagai tempat.
Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dalam kongres yang ke V dan ke VI di Medan 1989 dan di Serpong 1995 telah memutuskan untuk menggunakan sistem Taksonomi tanah (USDA) secara nasional di Indonesia. Sistem in dirancang untuk melakukan dan menginterpretasikan survei tanah. Walaupun sistem in hanya dipersiapkan untuk tanah - tanah di AS, namun sesungguhnya yang ikut terlibat dalam penyusunannya adalah banyak ahli tanah seluruh dunia (Smith : 1983). Dan sistem soil taxonomy (USDA) yang sampai saat ini sering digunakan baik oleh peneliti, perguruan tinggi, dll.
Dalam sistem Soil Taxonomy (USDA) terdapat 12 ordo tanah yaitu Alfisol, Andisol, Aridisol, Entisol, Gelisol, Histosol, Inceptisol, Mollisol, Oxisol, Spodosol, Ultisol, dan Vertisol.
Jenis tanah Ultisol dan Oxisol luasnya diperkirakan meliputi 48.000.000 ha terutama di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Tanah-tanah di daerah rawa yang terdiri dar tanah Histosol dan tanah-tanah sulfat masam luasnya diperkirakan meliputi 27.000.000 ha yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Sarwono : 2003).
Berdasarkan sistem klasifikasi oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor (PPT, Bogor) Jenis tanah yang terdapat di Indonesia bermacam-macam, yaitu sebagai berikut :
1. Organosol (Tanah Gambut atau Tanah Organik)
Jenis tanah ini berasal dari bahan induk organik seperti dari hutan rawa atau rumput rawa, dengan ciri dan sifat: tidak terjadi deferensiasi horizon secara jelas, ketebalan lebih dari 0.5 meter, warna coklat hingga kehitaman, tekstur debu lempung, tidak berstruktur, konsistensi tidak lekat-agak lekat, kandungan organik lebih dari 30% untuk tanah tekstur lempung dan lebih dari 20% untuk tanah tekstur pasir, umumnya bersifat sangat asam (pH 4.0), kandungan unsur hara rendah.
Berdasarkan penyebaran topografinya, tanah gambut dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. gambut ombrogen: terletak di dataran pantai berawa, mempunyai ketebalan 0.5 – 16 meter, terbentuk dari sisa tumbuhan hutan dan rumput rawa, hampir selalu tergenang air, bersifat sangat asam. Contoh penyebarannya di daerah dataran pantai Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya (Papua);
b. gambut topogen: terbentuk di daerah cekungan (depresi) antara rawa-rawa di daerah dataran rendah dengan di pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan rawa, ketebalan 0.5 – 6 meter, bersifat agak asam, kandungan unsur hara relatif lebih tinggi. Contoh penyebarannya di Rawa Pening (Jawa Tengah), Rawa Lakbok (Ciamis, Jawa Barat), dan Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah); dan
c. gambut pegunungan: terbentuk di daerah topografi pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan yang hidupnya di daerah sedang (vegetasi spagnum). Contoh penyebarannya di Dataran Tinggi Dieng.
Berdasarkan susunan kimianya tanah gambut dibedakan menjadi:
a. gambut eutrop, bersifat agak asam, kandungan O2 serta unsur haranya lebih tinggi;
b. gambut oligotrop, sangat asam, miskin O2 , miskin unsur hara, biasanya selalu tergenang air; dan
c. mesotrop, peralihan antara eutrop dan oligotrof.
2. Grumusol
Tanah mineral yang mempunyai perkembangan profil, agak tebal, tekstur lempung berat, struktur kersai (granular) di lapisan atas dan gumpal hingga pejal di lapisan bawah, konsistensi bila basah sangat lekat dan plastis, bila kering sangat keras dan tanah retak-retak, umumnya bersifat alkalis, kejenuhan basa, dan kapasitas absorpsi tinggi, permeabilitas lambat dan peka erosi. Jenis ini berasal dari batu kapur, mergel, batuan lempung atau tuf vulkanik bersifat basa.
Penyebarannya di daerah iklim sub humid atau sub arid, curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun.
3. Podsolik Merah Kuning
Tanah mineral telah berkembang, solum (kedalaman) dalam, tekstur lempung hingga berpasir, struktur gumpal, konsistensi lekat, bersifat agak asam (pH kurang dari 5.5), kesuburan rendah hingga sedang, warna merah hingga kuning, kejenuhan basa rendah, peka erosi. Tanah ini berasal dari batuan pasir kuarsa, tuf vulkanik, bersifat asam. Tersebar di daerah beriklim basah tanpa bulan kering, curah hujan lebih dari 2500 mm/tahun.
4. Litosol
Tanah mineral tanpa atau sedikit perkembangan profil, batuan induknya batuan beku atau batuan sedimen keras, kedalaman tanah dangkal (< 30 cm) bahkan kadang-kadang merupakan singkapan batuan induk (outerop). Tekstur tanah beranekaragam, dan pada umumnya berpasir, umumnya tidak berstruktur, terdapat kandungan batu, kerikil dan kesuburannya bervariasi.
Tanah litosol dapat dijumpai pada segala iklim, umumnya di topografi berbukit, pegunungan, lereng miring sampai curam.
5. Podsol
Jenis tanah ini telah mengalami perkembangan profil, susunan horizon terdiri dari horizon albic (A2) dan spodic (B2H) yang jelas, tekstur lempung hingga pasir, struktur gumpal, konsistensi lekat, kandungan pasir kuarsanya tinggi, sangat masam, kesuburan rendah, kapasitas pertukaran kation sangat rendah, peka terhadap erosi, batuan induk batuan pasir dengan kandungan kuarsanya tinggi, batuan lempung dan tuf vulkan masam.
Penyebaran di daerah beriklim basah, curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun tanpa bulan kering, topografi pegunungan. Daerahnya Kalimantan Tengah, Sumatra Utara dan Irian Jaya (Papua).
6. Andosol
Jenis tanah mineral yang telah mengalami perkembangan profil, solum agak tebal, warna agak coklat kekelabuan hingga hitam, kandungan organik tinggi, tekstur geluh berdebu, struktur remah, konsistensi gembur dan bersifat licin berminyak (smeary), kadang-kadang berpadas lunak, agak asam, kejenuhan basa tinggi dan daya absorpsi sedang, kelembaban tinggi, permeabilitas sedang dan peka terhadap erosi. Tanah ini berasal dari batuan induk abu atau tuf vulkanik.
7. Aluvial
Jenis tanah ini masih muda, belum mengalami perkembangan, berasal dari bahan induk aluvium, tekstur beraneka ragam, belum terbentuk struktur , konsistensi dalam keadaan basah lekat, pH bermacam-macam, kesuburan sedang hingga tinggi.
Penyebarannya di daerah dataran aluvial sungai, dataran aluvial pantai dan daerah cekungan (depresi).
8. Latosol
Jenis tanah ini telah berkembang atau terjadi diferensiasi horizon, kedalaman dalam, tekstur lempung, struktur remah hingga gumpal, konsistensi gembur hingga agak teguh, warna coklat merah hingga kuning. Penyebarannya di daerah beriklim basah, curah hujan lebih dari 300 – 1000 meter, batuan induk dari tuf, material vulkanik, breksi batuan beku intrusi.
9. Regosol
Jenis tanah ini masih muda, belum mengalami diferensiasi horizon, tekstur pasir, struktur berbukit tunggal, konsistensi lepas-lepas, pH umumnya netral, kesuburan sedang, berasal dari bahan induk material vulkanik piroklastis atau pasir pantai.
Penyebarannya di daerah lereng vulkanik muda dan di daerah beting pantai dan gumuk-gumuk pasir pantai.
10. Mediteran merah-Kuning
Tanah mempunyai perkembangan profil, solum sedang hingga dangkal, warna coklat hingga merah, mempunyai horizon B argilik, tekstur geluh hingga lempung, struktur gumpal bersudut, konsistensi teguh dan lekat bila basah, pH netral hingga agak basa, kejenuhan basa tinggi, daya absorpsi sedang, permeabilitas sedang dan peka erosi, berasal dari batuan kapur keras (limestone) dan tuf vulkanis bersifat basa. Penyebaran di daerah beriklim sub humid, bulan kering nyata. Curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun, di daerah pegunungan lipatan, topografi Karst dan lereng vulkan ketinggian di bawah 400 m. Khusus tanah mediteran merah – kuning di daerah topografi Karst disebut terra rossa.
11. Hodmorf Kelabu (gleisol)
Jenis tanah ini perkembangannya lebih dipengaruhi oleh faktor lokal, yaitu topografi merupakan dataran rendah atau cekungan, hampir selalu tergenang air, solum tanah sedang, warna kelabu hingga kekuningan, tekstur geluh hingga lempung, struktur berlumpur hingga masif, konsistensi lekat, bersifat asam (pH 4.5 – 6.0), kandungan bahan organik. Ciri khas tanah ini adanya lapisan glei kontinu yang berwarna kelabu pucat pada kedalaman kurang dari 0.5 meter akibat dari profil tanah selalu jenuh air.
Penyebaran di daerah beriklim humid hingga sub humid, curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun.


12. Tanah sawah (paddy soil)
Tanah sawah ini diartikan tanah yang karena sudah lama (ratusan tahun) dipersawahkan memperlihatkan perkembangan profil khas, yang menyimpang dari tanah aslinya. Penyimpangan antara lain berupa terbentuknya lapisan bajak yang hampir kedap air disebut padas olah, sedalam 10 – 15 cm dari muka tanah dan setebal 2 – 5 cm. Di bawah lapisan bajak tersebut umumnya terdapat lapisan mangan dan besi, tebalnya bervariasi antara lain tergantung dari permeabilitas tanah. Lapisan tersebut dapat merupakan lapisan padas yang tak tembus perakaran, terutama bagi tanaman semusim. Lapisan bajak tersebut nampak jelas pada tanah latosol, mediteran dan regosol, samara-samar pada tanah aluvial dan grumosol.
Jenis-jenis tanah diatas ditulis dengan penamaan oleh PPT bogor, untuk melihat padanan nama dengan sistem lain dapat dilihat pada tabel 1.


Sistem Dudol-Soepraptohardjo (1957-1961) Modifikasi 1978/1982
(PPT) FAO/UENESCO
(1974) USDA Soil Taxonomy
(1975 – 1990)
1. Tanah Aluvial

2. Andosol

3. BrownForest Soil

4. Grumusol

5. Latosol



6. Litosol

7. Mediteran

8. Organosol

9. Podsol

10. Podsolik Merah Kuning

11. Podsolik Coklat

12. Podsolik Coklat kelabu

13. Regosol

14. Renzina
15. - Tanah aluvial

Andosol

Kambisol

Grumusol

- Kambisol
- Latosol
- Lateritik

Litosol

Mediteran

Organosol

Podsol

Podsolik


Kambisol

Podsolik


Regosol

Renzina

Ranker
Fluvisol

Andosol

Cambisol

Vertisol

- Cambisol
- Nitosol
- Ferralsol

Litosol

Luvisol

Histosol

Podsol

Acrisol


Cambisol

Acrisol


Regosol

Renzina

Ranker - Entisol
- Inceptisol
Andisol

Inceptisol

Vertisol

- Inceptisol
- Ultisol
- Oxisol

Entisol (lithic Subgrup)
Alfisol/inceptisol

Histosol

Spodosol

Ultisol


Inceptisol

Ultisol


Entisol/Inceptisol

Rendoll

-


Tabel 1. Padanan Nama Tanah menurut Berbagai Sistem Klasifikasi Tanah (disederhanakan)





2.3.3.Tanah-Tanah Pertanian Utama dan Sifat-Sifatnya
Jenis tanah-tanah yang disunakan untuk usaha pertanian antara lain Inceptisol, Entisol, Vertisol, Andisol, Alfisol, Mollisol, Oxisol, Histosol, dan Spodosol. Sebagian dari tanah-tanah diatas akan diuraikan sebagai berikut :
a. Inceptisols
Dari enam subordo dari kelompok inceptisol, yang termasuk tanah-tanah pertanian utama adalah Aquepts, yaitu inceptisol basah dengan drainase terhambatdan air tanah dekat permukaan. Selain itu juga ada Udepts (regim kelembaban udic), Ustepts (regim kelembaban ustic).
Dari data yang didapat, sebagian besar inceptisol adalah kelas butir berliat dengan kandungan liat cukup tinggi, reaksi tanah masam sampai agak masam (4,6-5,5).
Penggunaan tanah :
Aquepts merupakan tanah pertanian utama, yang digunakan terutama untuk pertanian pangan lahan basah, khususnya sawah tadah hujan dan sawah irigasi, sebagian sawah pasang surut dan area pertambakan. Tanaman utama padi sawah san tanaman semusim (jagung, kacang tanah, dll). Udepts banyak digunakan untuk lahan pekarangan, tegalan dan kebun campuran. Ustepts digunakan untuk sawah tadah hujan dan irigasi, pertanian pangan lahan kering, dll.
b. Entisols
Dari lima subordo dalam kelompok entisol, tanah pertanian utamanya adalah Aquents (selalu jenuh air dan drainase terhambat); fluvents (terbentuk dari endapan di dataran banjir sungai); psamments (bertekstur pasir atau pasir berlempeng); orthents (berpenampung dangkal dan berbatu di lereng yang curam).
Aquents, kandungan bahan organiknya sedang sampai tinggi di seluruh lapisan, reaksi tanahnya masam sampai agak masam. Fluvents dan orthents reaksi tanahnya cenderung masam sampai agak masam. Psamments, kandungan liatnya tinggi, reaksi tanahnya sangat masam sampai masam, dan kandungan bahan organiknya sangat rendah sampai rendah.
Penggunaan tanah :
Aquents biasanya di gunakan untuk persawahan. Fluvents digunakan untuk sawah pengairan dan tadah hujan selain itu juga untuk tegalan dan pertanian pangan lahan kering. Psamments untuk tegalan, kebun campuran, dan lahan pertanian kering. Orthents digunakan sebagai ladang berpindah, daerah pengembalaan ternak, ditanami kayu-kayuan, sebagian lagi untuk hutan pinus, semak dan hutan sekunder.
c. Vertisols
Dari enam subordo dalam kelompok vertisol, tanah pertanian utamanya adalah Aquerts (basah dan drainase terhambat), uderts ( terdapat di lahan kering regim kelembaban udic), dan usters (regim kelembaban ustic).
Vertisol merupakan tanah yang kandungan liatnya tinggi, reaksi tanah berkisar antara agak masam sampai agak alkalis. KBnya dasi tinggi sampai sangat tinggi. Kandungan bahan organiknya dari rendah sampai sedang.
Ketiga jenis tanah dari subordo vertisol dimanfaatkan untuk sawah pengairan dan tadah hujan, kebun campuran, perkebunan tebu, tembakau, kapas dan tanaman holtikultura buah-buahan.
d. Andisols
Dari tujuh subordo dalam kelompok Andisol yang termasuk tanah ertanian utama adalah : udands (berdrainase baik); aquands (basah); ustands (di wilayah kering, regim kelembaban ustic); vitrands (bertekstur kasar, kandugan gelas volkan tinggi).
Andisol memiliki tekstur dari berliat sampai berlempung kasar; reaksi tanah umumnya agak masam; kandungan bahan organik lapisan atas sedang sampai tinggi, lapisan bawah rendah.
Udands, vitrands umumnya untuk pertanian pangan lahan kering, tanaman holtikultura sayuran dataran tinggi dan bunga serta tanaman perkebunan. Aquands secara khusus dimanfaatkan untuk persawahan dan tanaman sayuran.


e. Alfisols
Dari lima subordo dalam kelompok Alfisol yang termasuk tanah ertanian utama adalah Udalfs (di wilayah agak basah dan agak kering, regim kelembaban udic) dan Ustalfs (di wilayah agak kering sampai kering dengan regim kelembaban ustic).
Alfisol merupakan tanah liat dengna kandungan liat tinggi; reaksi tanah berkisar dari agak masam sampai netral. Kandungan bahan organik pada lapisan atas sedang sampai tinggidan lapisan bawah sangat rendah sampai rendah.
Udalfs merupakan tanah pertanian penting di wilayah agak basah dan agak kering. Sedangkan Ustalfs mendominasi tanah pertanian utama di wilayah agak kering dan kering.
Pemanfaatan yang paling umum adalah untuk sawah tadah hujan dan pengairan sederhana. Sebagian lagi untuk tegalan, kebun campuran, dan pertanian pangan lahan kering. Sebagian wilayah Udalfs dimanfaatkan untuk perkebunan tebu, tembakau dan cengkeh.

f. Mollisols
Dari tujuh subordo dalam kelompok Mollisol yang termasuk tanah ertanian utama adalah Udolls (regim kelembaban udic), ustolls (regim kelembaban ustic), aquolls (drainase terhambat) dan rendolls (terbentuk dari batu gamping).
Mollisols termasuk tanah berlempung halus sampai berliat, dengan kandungan liat sedang; reaksi tanah dari agak masam sampai netral; kandugan bahan organik lapisan atas sedang sampai tinggi dan lapisan bawahnya berangsur menurun.
Udolls dan Ustolls umumnya untuk sawah tadah hujan. Aquolls secara spesifik digunakan untuk sawah pengairan dan tadah hujan. Rendolls yang terdapat di daerah karst dimanfaatkan untuk kebun campuran atau pertanian lahan kering.


BAB III
KESIMPULAN

Tanah adalah suatu benda fisis yang berdimensi tiga terdiri dari panjang, lebar, dan dalam yang merupakan bagian paling atas dari kulit bumi dan mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan bahan yang ada di bawahnya sebagai hasil kerja interaksi antara iklim, kegiatan oganisme, bahan induk dan relief selama waktu tertentu.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ada lima faktor pembentuk tanah yaitu iklim, organisme, bahan induk, relief (topografi) dan waktu. Iklim, organisme dan waktu adalah faktor pembentuk tanah yang aktif, sedangkan bahan induk dan relief merupakan penyedia bahan dan tempat dalam proses pembentukan tanah.
Jenis tanah yang terdapat di Indonesia menurut PPT Bogor ada bermacam-macam, antara lain: tanah organik (organosol), Aluvial, regosol, litosol, latosol, grumusol, podsolik merah kuning, podsol, andosol, Mediteran merah-Kuning, Hodmorf Kelabu (gleisol), dan Tanah sawah (paddy soil).
Landform adalah bentukan alam di permukaan bumi yang terjadi karena proses pembentukan tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu pula.
Kegiatan penelitian tanah di Indonesia mulai meningkat semenjak berdirinya PPT (Pusat Penelitian Tanah) pada tahun 1905. klasifikasi tanah di Indonesia terus berkembang sampai dengan diadakannya kongres HITI ke V di Medan (1989) ditetapkan bahwa klasifikasi yang digunakan secara nasional di Indonesia adalah sistem soil taxonomy (USDA).
Jenis tanah yang utama digunakan untuk pertanian diantaranya Inceptisol, Entisol, Vertisol, Andisol, Alfisol, Mollisol, Oxisol, Histosol, dan Spodosol.






DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia indonesia. Republik Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia (diakses pada tanggal 4 September 2008).

La An. 6 Juli 2007. Tanah dan Lahan. FOKUSHIMITI, Ilmu Tanah.

Eirlangga. 25 April 2008. Faktor Pembentuk Tanah. http://elank37.wordpress.com/2008/04/25/faktor-pembentuk-tanah/ (diakses pada tanggal 5 September 2008).

Pustekkom. 2005. Jenis-jenis Tanah di Indonesia. http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=98&fname=geo107_25.htm (diakses pada tanggal 5 September 2008).

Sarwono Hardjowigeno, Dr.Ir.M.Sc. 2003. Ilmu Tanah (Edisi Revisi). Jakarta : Akademika Pressindo.

Dinas Pertanian Jawa Barat. 2006. Jenis Tanah di Jawa Barat. http://www.diperta.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=439&idMenu=443 (diakses pada tanggal 7 September 2008).

Salim, Hidayat dan Mariam, Siti. 2007. Modul Pengelolaan Tanah dan Air. Fakultas Pertanian-Unpad.