Selasa, 24 Maret 2009

Penerapan Teknologi Dalam Pengaturan Air Untuk Pertanian di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kekeringan mulai melanda sejumlah wilayah di Tanah Air. Ratusan ribu hektare tanaman pangan, terutama padi, di Pulau Jawa terancam. Luas lahan padi yang potensial gagal panen terus bertambah seiring dengan musim kemarau yang berubah pola.

Perubahan iklim, para ahli mengaitkannya dengan gejala pemanasan global menyebabkan musim hujan dan kemarau di Indonesia bergeser. Musim kemarau yang biasanya terjadi pada periode April sampai Oktober, tahun ini baru dimulai pada Juli. Demikian juga dengan musim hujan yang bergeser dari November sampai Maret ke Februari hingga Juni. Total luas tanaman padi yang kekeringan selama Januari-Juli 2007 mencapai 268.518 hektare.

Kawasan tropis diperkirakan akan menderita pukulan produksi pangan akibat besarnya variabilitas iklim menjelang 2030. Itu berarti kerawanan pangan akan sering terjadi. Kekhawatiran ini cukup beralasan. Karena meski bencana kekeringan sudah mengancam dan melanda sentra-sentra produksi beras di Jawa, pemerintah malah membantah terjadi bencana kekeringan nasional pada musim kemarau sekarang ini. Petani di daerah pantai utara (pantura) Jawa Barat dan Jawa Tengah padahal sudah berteriak sawah mereka kering. Pemerintah harus menanggapi masalah ini dengan serius karena menyangkut produksi beras nasional. Pemerintah harus cepat menangani bencana alam yang sudah di depan mata.

Berdasarkan hasil analisis data historis yang disampaikan Direktur PLA Deptan, kekeringan kali ini selain merupakan kejadian musiman biasa, juga akumulasi dan interaksi tiga faktor penyebab lainnya, yaitu degradasi lingkungan dan sumber daya air, tata kelola air yang memburuk, dan dampak perubahan iklim global. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah harus mengantisipasi dengan cepat dan tepat faktor ini.

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan malakalah ini adalah agar mengetahui pentingnya ketersediaan air bagi pertanian. Selain itu untuk mengetahui dan mencari solusi dalam mengatasi permasalahan kekurangan air bagi pertanian lahan kering pada musim kemarau terutama daerah dengan curah hujan kecil dengan berbagai sistem irigasi. Dengan dilakukan tinjauan terhadap literatur diharapkan mampu mencarikan solusi dari permasalahan tersebut.

1.3. Identifikasi Masalah

Dalam makalah ini penulis mengidentifikasikan masalah yang akan dibahas yaitu :

- Sumber air bagi sektor pertanian?

- Seberapa penting ketersediaan air bagi kehidupan khususnya sektor pertanian?

- Keadaan Indonesia saat ini, permasalahan daerah dengan curah hujan kecil, pertanian lahan kering di musim kemarau, dan dampak perubahan iklim (bergesernya waktu musim hujan dan kemarau) bagaimana solusinya?

- Beberapa sistem pengairan (irigasi), mampukah menjadi solusi permasalahan yang dihadapi Indonesia


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian

Air demikian penting bagi kehidupan manusia, berbagai sektor dan kepentingan lainnya. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah air pengairan, yang sering bahkan menimbulkan berbagai masalah bagi berbagai kehidupan, jika tidak mampu melestarikannya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah Nomor: 1/PRT/M/2004, Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang berada di darat.

Irigasi adalah usaha penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak. Ada beberapa pengertian tentang irigasi diantaranya menurut Kartasapoetra : 94 bahwa irigasi adalah kegiatan penyediaan dan pengaturan air untuk memenuhi kepentingan pertanian dengan memanfaatkan air permukaan dan air tanah.

Menurut UU no.11 tahun 1974, pengairan suatu bidang pembinaan terhadap air, sumber air, termasuk kekayaan alam hewani yang terkandung di dalamnya, baik yang alamiah maupun yang telah diusahakan oleh manusia.

2.2. Sumber Air

Air permukaan dan air tanah merupakan sumber air utama yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pertanian, dan lain-lain. Namun demikian saat ini sebagian besar kebutuhan masih mengandalkan dari sumber air permukaan oleh karena itu, sumber air permukaan perlu dikelola dengan baik sehingga mampu memberikan manfaat bagi pengembangan sektor pertanian.

Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah (sungai, danau, mata air, terjunan air). (Direktur Pengelolaan Air)

Air permukaan baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa) dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir di laut. Proses perjalanan air di daratan tersebut terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS).

Sampai saat ini, air permukaan sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik dan keperluan domestik lainnya. Penggunaan air tanah umumnya masih terbatas untuk minum, rumah tangga, sebagian industri, usaha pertanian pada wilayah dan musim-musim tertentu. Sumberdaya air merupakan sumberdaya yang terbaharuinamun demikian ketersediaannyatidak selalu sesuai dengan waktu, ruang, jumlah dan mutu yang dibutuhkan. Tujuan kegiatan pengembangan air permukaan adalah :

- memanfaatkan potensi sumber air permukaan untuk irigasi

- meningkatkan ketersediaan air irigasi sehingga dapat menjamin pasokan air dalam usaha tani

- meningkatkan luas areal tanam, indeks pertanaman dan produktivitas usaha tani

- meningkatkan produksi pertanian, pendapatan dan kesejahteraan petani.

2.3. Peranan Air Bagi Pertanian

Dalam kegiatan budidaya pertanian baik dalam pengembangan tanaman pangan, holtikultura, peternakan maupun perkebunan; ketersediaan air merupakan faktor yang sangat strategis. Tanpa adanya dukungan ketersediaan air yang sesuai dengan kebutuhan baik dalam dimensi jumlah, mutu, ruang maupaun waktunya, maka dapat dipastikan kegiatan budidaya tersebut akan berjalan dengan tidak optimal. Selain itu yang paling penting adalah manusia sangat membutuhkan air untuk memenuhi segala kebutuhannya. Oleh karena itu, perlu dilakukannya pengembangan sumber-sumber air.

Sebagaimana diketahui, setiap daerah di Indonesia tidak seluruhnya mendapatkan curah hujan yang sama, dengan demikian akan terdapat dua daerah ada yang curah hujannya telah mampu mencukupi kebutuhan pengairan dan ada daerah dengan lahan yang memerlukan pengairan (irigasi) bagi pertaniannya. Untuk itu, diperlukan pengelolaan air agar air yang tersedia mampu digunakan seefektif dan seefisien mungkin agar mampu memenuhi kebutuhan pertanian, dll.

2.4. Keadaan Pertanian di Indonesia

Lahan kering di Indonesia, 33,3 juta Ha (BPS, 1997), dengan sebagian besar lahan tersebut beriklim kering tipe D dan E berdasarkan klasifikasi zona iklim Oldeman.

Selain fakta tersebut, saat ini kekeringan mulai melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Ratusan ribu hektare tanaman pangan, terutama padi, di Pulau Jawa terancam. Luas lahan padi yang potensial gagal panen terus bertambah seiring dengan musim kemarau yang berubah pola.

Para ahli mengaitkannya dengan gejala pemanasan global yang menyebabkan musim hujan dan kemarau di Indonesia bergeser. Musim kemarau yang biasanya terjadi pada periode April sampai Oktober, tahun ini baru dimulai pada Juli. Demikian juga dengan musim hujan yang bergeser dari November sampai Maret ke Februari hingga Juni. Total luas tanaman padi yang kekeringan selama Januari-Juli 2007 mencapai 268.518 hektare. Kawasan tropis ditengarai akan menderita “pukulan produksi pangan” akibat besarnya variabilitas iklim menjelang 2030. Itu berarti kerawanan pangan akan sering terjadi. Kekhawatiran ini cukup beralasan. Karena meski bencana kekeringan sudah mengancam dan melanda sentra-sentra produksi beras di Jawa, pemerintah malah membantah terjadi bencana kekeringan nasional pada musim kemarau sekarang ini. Petani di daerah pantai utara (pantura) Jabar dan Jateng padahal sudah berteriak sawah mereka kering. Pemerintah harus menanggapi masalah ini dengan serius karena menyangkut produksi beras nasional. Pemerintah harus cepat menangani bencana alam yang sudah di depan mata.

Berdasarkan hasil analisis data historis yang disampaikan Direktur PLA Deptan, kekeringan kali ini selain merupakan kejadian musiman biasa, juga akumulasi dan interaksi tiga faktor penyebab lainnya, yaitu degradasi lingkungan dan sumber daya air, tata kelola air yang memburuk, dan dampak perubahan iklim global. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah harus mengantisipasi dengan cepat dan tepat faktor ini.

Dari permasalahan tersebut maka dibutuhkan suatu sistem pengaturan air/pengairan (irigasi) yang mampu memenuhi kebutuhan tanaman pertanian akan air pada saat-saat air hujan tidak dapat lagi diharapkan.

2.5. Sistem Irigasi

Kemarau datang, keresahan petani lahan kering semakin meningkat. Terbatasnya persediaan air irigasi untuk usaha taninya selalu menjadi masalah. Salah satu kendala pada daerah ini adalah terbatasnya air untuk tanaman, oleh karena itu dibutuhkan sistem irigasi pada saat terjadi saat-saat kering.

Untuk mengantisipasi dampak kemarau atas ketersediaan air untuk pertanian, penerapan beberapa Teknologi Tepat Guna akan sangat membantu diantaranya adalah sistem irigasi mikro, Teknologi Embung, Sistem Irigasi Dam Parit (Channel Reservoir), dan Sistem Irigasi Kendi.

2.5.1. Sistem Irigasi Mikro

Irigasi mikro adalah salah satu terobosan yang bisa dilakukan. Teknologi ini adalah suatu istilah bagi sistem irigasi yang mengaplikasikan air hanya di sekitar zona penakaran tanaman. Irigasi mikro ini meliputi irigasi tetes (drip irrigation), microspray dan mini-sprinkler.

BBP Mekanisasi Pertanian telah melakukan pengembangan sistem irigasi mikro. Lokasi pengembangan pertama dilakukan di kebun percobaan BBP Mektan Serpong. Pengembangan sistem irigasi tetes (drip) diterapkan untuk budidaya cabai dan jagung manis. Sistem irigasi sprinkler diterapkan pada tanaman kacang tanah. Pengujian kinerja terhadap sistem irigasi tetes diperoleh bahwa tingkat keseragaman tetesan untuk tanaman cabai mencapai 82.82% (SU) dan 88.74% (DU) sedangkan untuk tanaman jagung 83.46% (SU) dan 88.21% (DU). Dengan hasil uji tersebut dapat dikatakan bahwa sistem irigasi tetes yang digunakan untuk tanaman cabai dan jagung termasuk dalam katagori BAIK. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keseragaman tersebut antara lain adalah: kondisi filter air, kondisi lubang emitter yang tersumbat oleh tanah, perubahan koefisien gesek pada pipa lateral karena tumbuhnya lumut dsb.

Sedangkan untuk sistem irigasi curah diperoleh hasil tingkat keseragamannya mencapai 89.91% (CU). Dengan demikian sistem irigasi curah yang digunakan untuk tanaman kacang tanah termasuk kategori BAIK menurut standard Christiansen. Hasil ubinan tanaman cabai rata-rata pada lahan irigasi tetes adalah 4.4 ton/ha. Menurut Kusuma Inderawati (1982), potensi hasil yang dapat dicapai oleh tanaman cabai mencapai 6.21 ton/ha bila dilakukan perlakuan yang tepat terhadap jarak tanam, pH tanah 6 dan pemberian air yang tepat waktu dan kebutuhan. Hasil biji jarak petak sampel bervariasi karena tingkat keseragaman tetesan juga bervariasi. Hasil maksimum yang mampu dicapai adalah 5.55 ton/ha pada tingkat keseragaman 91.50%. Hasil ubinan tanaman kacang tanah rata-rata adalah 2.46 ton/ha. Hasil panen ubinan diperoleh bahwa produksi tanaman kacang tanah bervariasi mulai dari yang terendah 1.68 ton/ha sampai tertinggi 3.13 ton/ha. Hasil biji pada petak sampel bervariasi karena tingkat keseragaman curahan juga bervariasi. Kenampakan fisik tanaman di lapangan mendukung tingkat keseragaman distribusi curahan lebih baik dibanding irigasi tetes.

Hasil ubinan panen jagung untuk pemberian air dengan irigasi tetes mencapai 6,6 ton/ha. Hasil yang dicapai oleh irigasi tersebut hampir sama dengan rata-rata hasil potensial jagung varietas Semar yaitu 6 – 8 ton/ha. Selisih hasil yang dicapai antara penelitian di Serpong dan hasil potensialnya diperkirakan karena total air yang diberikan dalam satu periode musim tanam untuk metode irigasi tetes adalah 336,39 mm. Untuk mencapai kondisi potensial hasil diperlukan total air minimal 420 mm/musim serta syarat agronomis yang baik. Hasil maksimum yang mampu dicapai 7.8 ton/ha. Sehingga diduga hasil panen jagung masih dapat ditingkatkan lagi dengan meningkatkan tingkat keseragaman curahan sistem irigasi yang digunakan.

Lokasi pengembangan berikutnya adalah di lahan pasang surut Kalimantan Selatan yang dilaksanakan tahun anggaran 2006. Sistem irigasi yang diterapkan adalah irigasi tetes (drip) dengan menggunakan komponen emiter yang lebih murah (bekas tutup botol aqua). Hal ini merupakan terobosan baru untuk menjawab penggunaan teknologi tepat guna.

Atas dasar beberapa terobosan baru yang telah dilakukan oleh BBP Mektan, diharapkan mampu mengurangi kesulitan petani di musim kemarau. Juga disadari bahwa terobosan penerapan irigasi mikro di lahan kering membutuhkan investasi awal yang mahal. Untuk mengurangi beban petani, peran pemerintah dan dinas terkait sangat diperlukan dalam pendampingan kelembagaan. Penguatan kelembagaan di tingkat petani harus segera dilakukan, karena dengan kelembagaan yang kuat dapat mengelola sistem irigasi mikro dengan baik. Diharapkan petani di lahan kering dapat memanfaatkan salah satu sistem irigasi dalam pertaniannya.

2.5.2. Embung

Untuk mengantisipasi dampak kemarau atas ketersediaan air untuk pertanian, penerapan beberapa Teknologi Tepat Guna akan sangat membantu diantaranya adalah: Teknologi Embung. Teknologi ini pernah digalakkan beberapa tahun lalu dan telah terbukti berhasil pada daerah Semi Arid Tropic di dunia.

Di beberapa tempat di Indonesia teknologi ini sudah diterapkan. Embung adalah kolam penampung air hujan untuk mensuplai air di musim kemarau, menurunkan volume aliran permukaan sekaligus meningkatkan cadangan air tanah, dan mengurangi kecepatan aliran permukaan hingga daya kikis dan daya angkutnya menurun.

Teknologi Embung dapat meningkatkan intensitas tanah dan hasil usaha tani. Di Yogyakarta penanaman dapat dilakukan sepanjang tahun dengan pola padi, tembakau, jagung. Nilai usaha tani pada sawah tadah hujan meningkat dari Rp 4,3 juta/ha/tahun menjadi Rp 11,7 juta/ha/tahun. Pada lahan kering, maka usaha tani meningkat dari Rp 3,5 juta menjadi Rp 8,3 juta/ha/tahun.
Selain itu, Embung juga dapat digunakan untuk pemeliharaan ikan, dan air embung dapat pula dimanfaatkan untuk minum bagi ternak. Dengan penerapan teknologi ini, dalam jangka panjang diharapkan muka air tanah naik sehingga dapat dibuat sumur untuk keperluan rumah tangga. Lokasi yang sesuai untuk konstruksi umum bagi teknologi embung adalah :

1) Lapisan tanah bagian bawah kedap air,

2) kemiringan lahan kurang dari 40%,

3) tidak langsung dilalui oleh saluran pembuangan air utama.

2.5.3. Sistem Irigasi Dam Parit (Channel Reservoir)

Sistem Irigasi Dam Parit (Channel Reservoir), Sistem irigasi dam parit adalah sistem yang memanfaatkan aliran sungai dengan cara memotong aliran sungai dan mengumpulkan air dari aliran sungai tersebut untuk didistribusikan ke saluran irigasi yang ada. Dengan sistem ini, aliran permukaan dapat dikurangi sehingga dapat digunakan sebagai cara untuk penanggulangan banjir. Di samping itu, sistem ini dapat mengurangi sedimentasi dan pendangkalan sungai akibat sedimentasi karena berkurangnya laju aliran permukaan, dan meningkatkan permukaan air tanah. Sistem ini dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Litbang Pertanian.

2.5.4. Sistem Irigasi Kendi

Guna mendapatkan sistem irigasi yang hemat air untuk daerah lahan kering dan ancaman kekeringan yang melanda beberapa wilayah di Indonesia setiap tahun Setiawan et al (1998) telah mengembangkan sistem irigasi kendi di Indonesia sejak tahun 1996. dengan sistem ini air irigasi diberikan langsung pada zona perakaran tanaman dan penanaman tanaman lain di sekitar zona pembasahan. Sistem Irigasi Kendi. Ini adalah salah satu bentuk pemberian air pada tanaman melalui zona per-akaran tanaman. Irigasi kendi ini dapat menghemat penggunaan air dengan cara mengatur melalui sifat porositas kendi.

Mondal (1974) dan Stein (1990) memasukkan sistem irigasi kendi ke dalam sistem irigasi bawah permukaan. Selanjutnya Stein (1990) menggolongkannya lagi ke dalam irigasi lokal (Local Irrigation), karena rembesarn air irigasi terjadi secara lambat dengan volume yang rendah (kecil) pada zona perakaran tanaman, sehingga hanya sebagian tanah yang terbasahi, maka sistem irigasi ini mampu mengurangi evaporasi dan perkolasi (Modal, 1978).

Teknologi tersebut sudah pernah diujicobakan di lapangan dengan hasil memuaskan di beberapa daerah yaitu, NTB, NTT, Lombok Timur, Sukabumi, dan Bogor. Prof. DR. Budi Indra Setiawan yang melakukan penelitian tersebut, mengatakan bahwa lahan kering kini bisa menjadi lahan produktif terutama untuk budidaya hortikultura dengan menerapkan teknologi irigasi hemat air dan pupuk yaitu dengan teknologi irigasi kendi. Dijelaskan pula, penerapan teknologi tepat guna ini mampu meningkatkan pendapatan petani di desa-desa tertinggal yang pada umumnya berlokasi di lahan-lahan kering. Teknologi ini dapat menghemat penggunaan air dan pupuk pada budidaya tanaman di lahan terbuka, rumah kaca ataupun tanaman sela di antara tanaman perkebunan seperti cabai, lemon, melon, tomat dan lainnya. Dengan menggunakan kendi yang dirancang khusus agar dapat mengeluarkan keringat apabila diisi dengan air, bila kendi tersebut ditanam dalam tanah, maka air dalam kendi akan merembes melalui dindingnya kemudian membasahi tanah langsung ke daerah perakaran.

Sementara itu mengenai cara penggunanaanya, volume air dalam kendi dijaga agar selalu terisi air dengan menerapkan teknologi pemberian air bertekanan tetap yang dirancang khusus terbuat dari tangki air. Dengan demikian, pemberian air dan pupuk cair dapat dilakukan secara terpusat dan terkendali sehingga meringankan petani dalam mengairi tanamannya.

Secara operasional, kendi ditanam di bawah tanah dekat dengan zona perakaran tanaman. Jumlah kendi yang ditanam tergantung pada jenis tanaman, kebutuhan air tanaman, suplai air serta porositas tanah dan kendi.

Mekanisme pengisian air ke dalam kendi adalah dengan memasukkan air yang berasal dari air hujan atau sumber air lainnya melalui selang air. Pada waktu musim kering dimana ketersediaan air di dalam tanah berkurang, maka air dalam kendi akan mengalir ke luar melalui pori-pori kendi sesuai dengan prinsip hukum keseimbangan tekanan air di dalam tanah.

BAB III

KESIMPULAN

Kekeringan mulai melanda sejumlah wilayah di Tanah Air. Ratusan ribu hektare tanaman pangan, terutama padi, di Pulau Jawa terancam. Luas lahan padi yang potensial gagal panen terus bertambah seiring dengan musim kemarau yang berubah pola.

Perubahan iklim, para ahli mengaitkannya dengan gejala pemanasan global menyebabkan musim hujan dan kemarau di Indonesia bergeser. Musim kemarau yang biasanya terjadi pada periode April sampai Oktober, tahun ini baru dimulai pada Juli. Demikian juga dengan musim hujan yang bergeser dari November sampai Maret ke Februari hingga Juni. Total luas tanaman padi yang kekeringan selama Januari-Juli 2007 mencapai 268.518 hektare.

Air demikian penting bagi kehidupan manusia, berbagai sektor dan kepentingan lainnya. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah air pengairan, yang sering bahkan menimbulkan berbagai masalah bagi berbagai kehidupan, jika tidak mampu melestarikannya. Kemarau datang, keresahan petani lahan kering semakin meningkat. Terbatasnya persediaan air irigasi untuk usaha taninya selalu menjadi masalah. Salah satu kendala pada daerah ini adalah terbatasnya air untuk tanaman, oleh karena itu dibutuhkan sistem irigasi pada saat terjadi saat-saat kering.

Untuk mengantisipasi dampak kemarau atas ketersediaan air untuk pertanian, penerapan beberapa Teknologi Tepat Guna akan sangat membantu diantaranya adalah sistem irigasi mikro, Teknologi Embung, Sistem Irigasi Dam Parit (Channel Reservoir), dan Sistem Irigasi Kendi.

DAFTAR PUSTAKA

2006. Wiyono, Joko. Musim Kemarau Datang, Sistem Irigasi Mikro di Lahan Kering Jadi Pilihan. Tabloid Sinar Tani, Penulis dari BBP Mektan, Serpong.

Salman Darajat. 2003. artikel pada halaman utama Sinar Harapan : Embung, Irigasi Kendi, dan Dam Parit. Badan Ketahanan Pangan, Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan Aceh Timur diakses pada web. http://www.sinarharapan.co.id/index.html (pada tgl. 8 November 2008).

2006. PRIDA Indonesia. Atasi Kekeringan Dengan Sistem Irigasi Kendi. Diakses pada web. http://www.pidra-indonesia.org/index2.php? (pada tgl. 8 November 2008).

2001. Edward, Saleh dan Setiawan, Budi Indra. Distribusi dan Profil Kelembaban Tanah pada sistem Irigasi Kensi pada tanaman sayuran di Daerah Kering. Jurnal ilmu-ilmu pertanian Indonesia vol.3 no.2. 2001. Hal. 94-98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar